Oleh: Dra Dyah Dhomi Eko Wulandari
mepnews.id – Di Banyuwangi terdapat situs cagar budaya petilasan Eyang Joyo Kusuma. Situs bernama Selo Tumpang yang disebut masyarakat sebagai Batu Tumpang ini terletak di tengah hutan jati di petak 69, RPH Karetan, BKBH Karetan, KPH Banyuwangi selatan, wilayah Dusun Sidodadi, Desa Karetan, Kecamatan Purwoharjo. Meski di tengah hutan, banyak pengunjung yang datang hingga menginap.
Untuk mencapainya, diperlukan waktu sekitar 2 jam perjalanan dari pusat kota Banyuwangi ke selatan agak ke barat melewati Hutan De Djawatan ke selatan. Atau, 20 menit perjalanan dari Jajag ke arah selatan. Atau, dari arah Purwoharjo, ke perempatan Karetan Sidodadi lalu belok kiri ke Tegaldlimo 400 meter, ada perempatan kecil ke kanan masuk hutan sekitar 200 meter, tengok arah kiri (timur) untuk sampai ke Situs Selo Tumpang.
Jalan di hutan jati ini berkelok-kelok dan agak sulit dilalui. Kalau musim hujan, jalannya berlumpur hingga bisa membuat orang tergelincir ke parit tepi. Tapi, pemandangannya indah dan hawanya sejuk. Suasana ini bisa membius pengunjung untuk bercengkerama sepanjang jalan. Kalau musim kemarau, saat semua daun jati rontok hingga tinggal batang dan ranting, pikiran bisa berkhayal tentang lukisan alam ciptaan Illahi. Eksostis, mempesona mata yang memandang.
Di dalam hutan, ada bangunan seluas 144 meter persegi. Bangunan itu dikelilingi pagar setinggi dua meter dan dilengkapi pintu gerbang. Dari arah pintu masuk sisi kanan, ada bangunan lapang seperti bale banjar tempat pasamuhan (musyawarah) umat Hindu. Di bangunan yang berlantai keramik putih, ada tikar dan karpet serta bantal kecil. Biasanya tempat ini digunakan pengunjung untuk istirahat dan bermalam saat melakukan ritual semedi. Di sisi kiri pintu masuk terdapat pondokan dilengkapi meja panjang dan kursi kayu 2 meter. Tempat ini disediakan bagi pengunjung untuk bersantai. Bila dari pintu gerbang pertama lurus, ada pintu masuk kedua, dan langsung ke lokasi situs, harus melewati tiga anak tangga.
Di tengah bangunan, ada batu berukuran cukup besar dengan posisi menumpang pada batu lain. Batu yang menumpang ini berdiameter sekitar 2 meter. Batu yang di bawah berukuran lebih lebar dan lebih pipih ketimbang batu di atasnya.
Seiring dengan banyaknya pengunjung dari daerah sekitar hingga luar daerah, bangunan utama situs Selo Tumpuk dipugar pada Selasa Kliwon 5 November 2002. Tempat itu dibuatkan bangunan dan pagar oleh Marjono salah satu tokoh agama setempat.
Saat penulis mengunjungi tempat ini, sudah ada empat pengunjung dari Srono dan Sumberayu yang berbincang-bincang sambil minum kopi hitam dan menikmati jajanan pasar. Awalnya mereka tampak sangat kompak seperti keluarga. Namun, obrolan menghangat saat mereka membahas pejabat yang baru datang untuk ritual. Ragam perbincangan mereka juga mengarah ke polemik di kancah politik yang memanas saat ini. Tak berapa lama mengobrol, datanglah Mbah Soiman sebagai orang yang dituakan dan juru kunci Situs Batu Tumpang.
Batu Tumpang disakralkan masyarakat sekitar karena diyakini sebagai peninggalan era kerajaan. Berdasarkan cerita di masyarakat, konon sejarah Selo Tumpang bermula pada tahun 1922. Ada pasangan suami istri Tropawirorejo dan Raden Ayu Ruminah (Mbah Kusumarejo) membuka hutan. Mereka menumpuk dua batu kecil sebagai tanda hutan yang telah dibabat. Lalu, batu pembatas itu tiba-tiba menjadi besar. Sejak itu, warga memberi sebutan Selo Tumpang atau Batu Tumpang.
Pada tahun 1988, terjadi suatu peristiwa mistis. Ada pengunjung serakah yang mengira di balik Selo Tumpang itu ada harta berupa bongkahan intan dan emas. Menggunakan peledak, mereka menghancurkan batu itu menjadi tujuh keping. Anehnya, tak berapa lama batu itu utuh kembali seperti semula.
Hal lain di luar nalar sering terjadi. Pernah ada pengunjung dari luar daerah membuat kopi, tapi airnya tidak bisa umob (mendidih). Konon, itu karena ada niatan kurang baik dari pengunjung tersebut.
“Maka, kalau datang ke Selo Tumpang, harus dengan niat baik dan unggah-ungguh. Tatanan harus diterapkan, tidak boleh dilanggar. Pengunjung harus berperilaku yang baik, sopan dan rendah hati. Setiap daerah mempunyai tata cara berbeda-beda. Orang yang datang harus mentaati tatanan itu sehingga tetap bertahan,” ungkap pengunjung dari Srono yang tak mau disebutkan namanya.
Hawa mistis sangat terasa di lingkungan situs. Jika masyarakat punya hajat mengkhitankan atau menikahkan, mereka menggelar upacara selamatan dengan membawa nasi tumpeng lengkap dengan ingkung lumayan besar, beserta pisang raja, hio atau dupa. Itu menjadi ciri khas ambengan untuk dibawa di Situs Selo Tumpang.
Pada hari tertentu, misalnya pasaran Kliwon dan Legi, banyak warga berkunjung. Pada bulan Suro, banyak yang datang untuk bersemedi. Pengunjung datang dari Jakarta, Aceh, Jogjakarta, Cirebon, Bali, dan berbagai daerah lainnya. Mereka ngalap berkah dengan cara menggelar ritual menjalani lelaku untuk meningkatkan ilmu bathin. Biasanya, sebelum semedi ke Alas Purwo, pengunjung ke Selo Tumpang dulu.
Di zaman modern, masih banyak orang menghadapi hidup dengan kesaktian atau menggunakan ilmu yang diperoleh dari semedi. Umpama yang menjalani lelaku itu mampu mengambil hikmah kebesaran Yang Maha Kuasa melalui ciptaanNya berupa Situs Selo Tumpang sebagai kaca benggala, maka mereka akan tahu bahwa yang lebih kuasa adalah yang menciptakan tempat tersebut. Karena, dengan adanya Situs Selo Tumpang, mereka mampu mendekatkan dirinya pada Gusti Allah yang Maha Kuasa.
- Penulis adalah guru SMPN 2 Purwoharjo, Banyuwangi.