Pendidikan Berbasis SARA

Oleh: Rusdi Zaki

mepnews.id

Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda tamat SLA

Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.

Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

(W.S. Rendra, “Sajak Seonggok Jagung”)

Kutipan puisi tersebut merupakan kritik terhadap pendidikan di Indonesia. Sebuah kias konyol.

Rendra melihat seorang lulusan sekolah menengah atas tidak punya uang sehingga tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Pemuda itu hanya punya seonggok jagung.

Selanjutnya Rendra menulis, anak itu melihat dirinya terlunta-lunta; ditendang dari diskotik; menelan air liur melihat sepatu kenes di etalase; melihat saingannya hidup mewah, naik sepeda motor; maka ia mengadu nasib lewat judi. Toh, kegagalan jua diraih. Ia tetap miskin.

Hal ini menyadarkan, ijazah sekolah bukan jaminan untuk menolongnya dari “kemiskinan”. Bahkan, seonggok jagung pun tidak menolongnya untuk memberi stimulus, inisiatif, dan kreativitas. Kemiskinan struktural.

Selain itu, pandangan hidupnya hanya mengandalkan buku. Ia tidak punya pengetahuan yang berasal dari kehidupan nyata. Kehidupannya pun semakin berat.

Mengapa hal itu terjadi?

Menurut Rendra, pendidikan tidak membangun latihan dalam metode. Hanya menekankan teori berupa hafalan. Anak didik hanya terlatih sebagai pemakai dan kurang latihan berkarya serta membangun daya cipta. Tak pelak, sekolah hadir bagai jurang pemisah antara teori hafalan dan kenyataan hidup. Pendidikan tidak selaras dengan kenyataan. Teori formal tak dapat diaplikasikan dalam dunia kerja. Justru menciptakan perbedaan. Artinya, pendidikan telah memisahkan anak didik dari kehidupan.

Pada bait terakhir, Rendra memprotes realitas pendidikan yang ada. Pendidikan hadir bukan membantu orang menjawab dan menyelesaikan persoalan, tetapi membuat orang saling bermusuhan dan menyingkirkan sesama. Pendidikan cuma membuat orang menjadi asing di tengah kenyataan. Apa yang diajarkan di sekolah sama sekali tidak berguna. Ketika pulang ke desa, seorang anak didik merasa asing dan sepi, berteman kemiskinannya.

Selain itu, Rendra melihat adanya ketidakadilan dalam pendidikan. Pendidikan hanyalah milik orang kaya; orang miskin dilarang sekolah. Bahkan, kehidupan sosial tidak mengakui keberadaan dan kemampuan pengetahuan yang dimiliki orang miskin.

Konyol kan?

Sajak “Seonggok Jagung” itu ditulis Rendra saat rezim Orde Baru berkuasa. Kebijakan rezim saat itu mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan, upah gaji guru dan pegawai yang minim, serta sarana-prasarana (tempat belajar, penerangan, dan jaminan kesehatan) pendidikan belum mencapai standar. Kesejahteraan pendidikan sangat memprihatinkan meskipun banyak dibangun sekolah inpres (instruksi presiden). Oknum pendidik melakukan korupsi waktu sekolah untuk mencari nafkah alternatif. Lunturnya wibawa dan keteladanan orangtua, kehidupan konsumtif, mengakibatkan anak didik cenderung terlantar.

Model pendidikan yang “tidak manusiawi” tersebut tetap langgeng pada era reformasi, bahkan sampai sekarang. Pendidikan Indonesia masih jalan di tempat. Sistem pendidikan yang berubah-ubah, kurikulum bergonta-ganti, kebijakan yang membingungkan, tetap membuat pendidikan Indonesia belum meningkat. Hal yang tidak dapat dipungkiri, pemerintah selalu membuat kebijakan demi perkembangan dan kemajuan pendidikan. Namun, usaha itu seakan fatamorgana di tengah padang pasir.

Sampai kini, pendidikan tetap menjadi masalah krusial. Realitas kondisi pendidikan belum merata. Rendra memotret kesenjangan dunia pendidikan itu. Perbedaan status sosial merupakan persoalan mendasar pengembangan pendidikan di Indonesia. Kondisi pendidikan, diakui atau tidak, telah dipetak-petak oleh faktor sosial dan ekonomi. Anak miskin akan kesulitan ketika masuk sekolah, karena orangtuanya tidak punya uang. Berbeda dengan anak orang kaya. Orangtua mampu; pendapatan rutin besar, profesi dan kedudukan dalam masyarakat terpandang, menjadi gerbang mengenyam pendidikan. Karena itu, keadilan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia harus ditegakkan. Tanpa kecuali.

Kompetisi, Kolaborasi, Komunikasi

Puisi “Sajak Seonggok Jagung” menjadi antitesa kredo Ki Hadjar Dewantara. Bapak Pendidikan Indonesia ini menyatakan, pendidikan adalah tuntutan di dalam pertumbuhan anak-anak. Adapun maksud dari pendidikan, yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia serta sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Untuk pendidikan modern masa depan, kepercayaan yang harus ditanamkan adalah keberanian berkompetisi. Kendati, keberanian berkompetisi ini sering menjadi bumerang. Para pendidik membuat formula ranking untuk anak didik sesuai kapasitas pembelajaran. Bahkan tak jarang sekolah-sekolah tertentu membuat kompetisi semakin masif dengan membagi kelas bagi anak pandai, sedang-sedang saja, atau kelas dengan anak didik bernilai rata-rata. Boleh jadi kekonyolan tersebut akibat pendidikan kita sangat “bhinneka tunggal ika”. Meskipun berbeda kelas kecerdasan, tetapi tetap satu sekolah.

Akibat virus kompetitif itu, anak didik cenderung congkak untuk memenangkan setiap kompetisi. Kalau kalah, tidak mudah menyerah. Selalu mencari jalan keluar. Baik juga sih?! Apalagi dalam kompetisi—katanya—kerja sama tim dilatih dengan baik dan benar, sehingga saat ada kerja lintas sektor tidak ada kendala teamwork. Mereka dapat mengerjakan secara kolaboratif. Komunikasi yang baik antar-tim sangat penting dipraktikkan dalam pembelajaran.

Praktiknya, pernahkah anak pandai dipasangkan dengan anak bodoh dalam sebuah tim cerdas-cermat? Mustahil! Bahkan anak yang berbakat seni tak mungkin berkolaborasi dengan anak didik yang berprestasi di bidang olahraga. Anak didik sejak awak diajar mendapatkan pendidikan secara linier, tidak di dalam tim. Omong kosong kalau ada guru berbusa-busa mengajarkan kolaborasi.

Dalam tim sepakbola pelatih selalu mengajarkan persaingan di antara para pemain. Begitu pun, guru membandingkan prestasi seorang anak didik dengan anak didik yang lain. Justru itulah cikal-bakal kegagalan kolaborasi dunia pendidikan. Akibatnya, seorang lulusan sekolah menengah menjadi asing karena dia tidak mampu berkolaborasi dengan lingkungannya.

UNESCO mencanangkan empat pilar yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan.

Saya kira, pilar terakhir ini belum dilakukan kebanyakan lembaga pendidikan di Indonesia. Sulit memang memaknai jargon “menjalin kesatuan dan persatuan”. Sejak era Orde Baru, rakyat selalu ditakut-takuti dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Padahal, perbedaan dalam SARA adalah kenyataan yang inherent dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk di dunia pendidikan.

Mengapa guru selalu menanamkan kecurigaan kepada anak didiknya ketika ada salah seorang atau sekelompok jamaah agama anak didiknya dianggap radikal dalam beribadah? Mengapa anak-anak yang dianggap radikal tidak diajak komunikasi? Barangkali radikalitas mereka benar. Justru keyakinan agama guru sebatas pengakuan di KTP.

Menyongsong tahun 2045, pendidikan berbasis SARA perlu digalakkan. Anak didik perlu diajak jalan-jalan melihat bagaimana seorang Madura berani membuka lapak di depan toko seorang Tionghoa. Padahal dagangan mereka sama. Banyak toko emas milik Tionghoa yang di depannya berdiri lapak pedagang emas kaki lima. Mereka saling bersaing sekaligus kerja sama. Kok bisa?!

Sebelum mengajak anak didik jalan-jalan, mental guru—bahkan jajaran dunia pendidikan hingga ke tingkat kementerian—harus brain storming terlebih dahulu agar tidak konyol.

Barangkali, kalau SARA dimaknai positif, lulusan sekolah menengah tidak gagap menghadapi seonggok jagung di kamarnya. Sebagaimana harapan Ki Hadjar Dewantara, anak didik sebagai manusia serta sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Sebagaimana juga ditulis Rendra pada awal puisinya itu:

gadis-gadis bercanda

sambil menumbuk jagung

menjadi maisena.

Sedang di dalam dapur

tungku-tungku menyala.

Di dalam udara murni

tercium bau kue jagung.

Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda.

Ia siap menggarap jagung.

Ia melihat kemungkinan

otak dan tangan

siap bekerja

  • Penulis adalah pengajar luar biasa di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya.

Facebook Comments

Comments are closed.