Catatan Pinggir Menuju Generasi Emas

Oleh: Yohanes Joni Liwu

mepnews.id – Tatkala tema tulisan bertajuk Generasi Emas diusung di sebuah WAG, alam pikiranku bergejolak. Tema itu tentu berdampak pada pencaharian data tentang segala sesuatu yang menjadi causa prima mewujudkan Generasi Emas. Tulisan ini lebih melihat soal-soal kecil yang terabaikan di kala bangsa ini terkontaminasi virus global COVID-19; di kala bangsa ini dengan segala kekuatannya hendak membebaskan diri dari cengkeraman virus.

Membangun generasi bangsa secara umum, wajar jika mata dan hati tertuju pada pembangunan di bidang pendidikan. Benar bahwa pemerintah telah berupaya maksimal membangun aspek pendidikan. Tapi, masih ada hal-hal kecil yang kadang dapat menjadi titik debu di depan mata yang luput dari penglihatan. Karenanya, itu harus dicermati dalam konteks pembenahan.

Lumrah jika semua orang menjadikan pendidikan sebagai faktor utama. Beberapa pemerhati pendidikan lebih mendiagonosis causa prima terwujdunya Generasi Emas berdasarkan cara pandang masing-masing. Semisal, faktor-faktor pendukung penciptaan SDM unggul. Katakanlah, tentang sarana dan prasarana atau fasilitas yang mesti harus mendukung pendidikan sebagai faktor utama. Ada pula yang mengedepankan figur Generasi Emas yang hendak diwujudkan. Mereka mengedepankan faktor-faktor yang mempengaruhi generasi tersebut. Pendidikan apa pun levelnya mesti melihat faktor-faktor tersebut agar Gold Generation terwujud. Pemerhati pendidikan lainnya lebih melihat figur guru yang hari-hari ini mempersiapkan gold generation tersebut. Guru haruslah inovatif, kreatif, juga inspiratif dalam mendesain pembelajaran bermutu.

Saya coba mengurai hal sarana dan prsarana pendidikan. Terhadap faktor yang satu ini, kita mesti jujur mengatakan fasilitas pendidikan belum seluruhnya terpenuhi pada setiap tingkatan pendidikan hingga di pelosok-pelosok negeri. Beberapa gedung sekolah masih darurat, berdinding bambu, berlantai tanah, dengan fasilitas seadanya. Belum lagi fasilitas-fasiltas lainnya yang mendukung.

Gedung-gedung sekolah dengan kondisi seperti ini dapat dikatekgorikan darurat karena sesewaktu mengalami kerusakan akibat faktor alam, misalnya. Badai Seoroja yang mengguncang NTT pada April 2021 memporakporandakan rumah-rumah penduduk termasuk gedung-gedung sekolah. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, 398 sekolah rusak di beberapa kabupaten di NTT yang diterpa Badai Seroja. Kondisi kerusakan tersebut baru di NTT, belum lagi di propinsi-propinsi lain yang mengalami kendala bencana atau berbagai kendala lain. Betapa gedung-gedung sekolah sebagai tempat belajar sangat memprihatinkan. Belum lagi jika dicermati ‘isi dalamnya’ dan fasilitas-fasiltas lainnya. Betapa hal ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas-fasilitas lain ini masih memprihatinkan, sedangkan generasi emas mesti dipersiapkan mulai saat ini.

Hal-hal kecil seperti ini mesti dicermati berbagai pihak dan pemangku kebijakan karena bangsa ini hendak mewujudkan Generasi Emas 2045. Dalam kurun waktu 24 tahun lagi, mungkinkah pemerintah telah menyediakan sarana dan prasana, pun segala fasilitas, secara adil dan merata bagi semua lembaga pendidikan di Indonesia? Salah satu domain dalam pengembangan SDM unggul adalah daya kompetitif. SDM unggul akan menjadi sesuatu yang absurd jika fasilitas pendidakan terabaikan.

Lalu bagaimana dengan guru?

Peran guru tentu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005. Guru lebih diposisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, pada semua jenjang pendidikan. Dalam konteks ini, figur guru tentu harus lebih profesional.

Menjadikan guru lebih profesional itu pun patut menjadi perhatian bersama. Program Guru Penggerak yang dicetuskan Mas Menteri Nadiem mesti dilihat juga sebagai upaya menjadikan guru sebagai pemimpin pembelajaran yang mendorong tumbuh kembang murid atau peserta didik secara holisitik, aktif, dan proaktif dalam mengembangkan pendidk lainnya untuk mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada murid. Selain itu, guru penggerak juga menjadi teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila.

Namun demikian, harus diakui bahwa tidak semua guru di Indonesia adalah guru penggerak. Proyeksinya, hingga tahun 2022 ada 8.050 calon guru penggerak di 160 daerah kabupaten dan kota. Jika disandingkan dengan jumlah guru di Indonesia yang 2.698.103 orang, maka 2.690.053 guru bukan guru penggerak. Estimasi tersebut bahkan lebih karena data di atas adalah calon guru penggerak.

Mungkinkan jenjang waktu 24 tahun membuat seluruh guru di Indonesia menjadi guru penggerak? Data guru-guru yang diharapkan prfoesional tersebut sangatlah fluktuatif. Namun demikian, sesutau yang pasti adalah soal bagaimana menjadikan guru itu profesional karena tugasnya memang mempersipakan Generasi Emas 2045.

Semua guru di Indonesia memilki peran besar bagi perwujudan Generasi Emas. Tidak berlebihan jika guru yang berpeluh mengusung Generasi Emas itu adalah guru yang kapabel. Guru yang mampu mentransformasikan misi pendidikan dalam tindak pembelajaran di kehidupan peserta didik atau siswa. Guru-guru yang inovatif, kreatif dan kritis. Guru dengan segala keterbatasan yang dituntut mampu menjawab semua tantangan zaman. Guru yang harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Yang harus menciptakan pembelajaran ‘mengompori’ kreativitas dan inovasi peserta didiknya. Tentu saja masih banyak lagi sejumlah tuntutan lain yang menjadikan guru sebagai figur panutan bagi peserta didik dan masyarakat di sekitarnya.

Sejumlah kualifikasi ini menuntut guru harus lebih berbenah. Hingga di titik ini, guru harus lebih meningkatkan profesionalismenya dengan berbagai upaya. Salah satunya diklat dan pelatihan bagi guru. Ini upaya yang dapat terlaksana karena kerja sama berbagai pihak dan tentu bersama pemangku kebijakan. Kita mesti jujur mengatakan bahwa upaya yang satu ini selalu terkendala finansial. Akibtanya, banyak guru yang mesti menanti dan tetap menanti giliran agar bisa mengenyam diklat dan pelatihan.

Selain pemerintah, guru sangat perlu menjadikan dirinya profesional. Sebuah hal kecil ketika guru harus berbenah diri agar menjadi guru profesional adalah berliterasi. Dalam konteks literasi dasar, guru juga mesti menyadari bahwa membaca merupakan jembatan menuju peningkatkan profesiobalisme. Gerakan literasi tidak sekadar meningkatkan kualitas peserta didik melalui literasi, tetapi juga meningkatkan kualitas guru melalui membaca. Karenanya, kepada guru juga mesti digaungkan Gerakan Guru Membaca (GGM) demi mendongkrak kualitas guru.

Guru berkualitas lah yang mampu mempersipakan Generasi Emas. Namun, apakah sejauh ini pemangku kepentingan atau kebijakan sudah sangat berperan meningkatkan kualitas guru? Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, misalnya, sudah melakukan bimtek virtual ‘Guru Belajar Seri Masa Pandemi COVID-19’. Namun, ada kendala jaringan internet yang belum menjangkau seluruh pelosok tanah air. Maka, mesti ada cara lain sehingga guru pun dapat mengeyam Bimtek berkualitas bagi peningkatan profesionalisme untuk menciptakan Generasi Emas berkaraketer.

Penciptaan karakater unggul peserta didik di setiap satuan pendidikan pun menjadi kunci penting pembangunan Generasi Emas. Pendidikan sebagai fondasi pun harus dapat mewujudkan Generasi Emas yang berkarakter. Tugas tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab tenaga pendidik. Itu tanggung jawab semua pihak; termasuk orang tua dan pemerintah. Peran mewujudkan Generasi Emas berkarakter bukan saja menjadi tugas guru tetapi semua komponen ini.

Jika bangsa ini menghendaki perubahan pada Generasi Emas, maka perubahan mesti dilihat sebagai keniscayaan. Tidak bisa dihindari. Dalam konteks perubahan tersebut, Mohammad Ali, inisiator penulis buku Pendidikan Menuju Indonesia Emas menjelaskan dua dimensi pendidikan, yaitu dimensi konservatif dan dimensi partisipatif. Pendidikan konservatif merupakan pendidikan yang tidak berubah dan dipertahankan, seperti Pancasila dan kebudayaan. Pendidikan parisipatif merupakan perubahan kompetensi yang mengadaptasi perubahan zaman. Pendidikan berdasarkan dua dimensi ini dapat mewujdukan Generasi Emas yang berkakater dan berdaya saing.

Sekarang, mari kita fokus ke PAUD dan SD. Topik kecil ini menarik untuk dicecar ketika seluruh komponen bangsa sedang mempersipakan Generasi Emas. Secara matematis, peserta didik pada kedua jenjang pendidikan ini akan berusia tiga puluhan di tahuh 2045. Pada tahun 2045, Indonesia mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk yang 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan 30% sisanya merupakan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun).

Kemudian kita hanya berandai, jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan baik tentu berdampak buruk pada masalah sosial. antara lain kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Melihat fakta yang akan dihadapi Indonesia, bonus demografi memang tidak bisa dihindari. Dengan demikian, mempersiapkan generasi bangsa sedini mungkin harus dilakukan.

Generasi yang ditargetkan menjadi usia yang dominan di tahun 2045 adalah mereka yang saat ini duduk di bangku PAUD dan SD. Tentu, fokus persiapan lebih matang untuk jenjang pendidikan tersebut sangat penting dilakukan. Secara usia, kedua jenjang pendidikan ini juga masih mudah dibentuk karakternya, dipersiapkan intelektualnya, dikembangkan potensinya, sehingga bisa tumbuh dan berkembang lebih optimal. Lembaga pendidikan, khususnya sekolah, perlu memperhatikan ini dan melakukan intensifikasi untuk pengembangan pendidikannya.

Konsekuensi dari pilihan adalah kerja keras, bukan kerja paksa. Kerja keras menyiratkan pengertian tejalinnya kerja sama berbagai sektor kehidupan agar dapat mewujudkan Generasi Emas yang dicanangkan 2 Mei 2012 silam. Generai Emas di tahun 2045 akan menjadi pemegang pemerintahan dan roda kehidupan bangsa. Karena itu, menyiapkan mereka bersinonim dengan menyiapkan pembangunan pendidikan dalam perspektif masa depan. Pendidikan yang hendak mewujudkan generasi bangsa yang berkualitas, mandiri dan maju, selain memiliki harkat dan martabat serta berbudaya.

  • Penulis adalah guru di SMP Negeri 13 Kota Kupang

Facebook Comments

Comments are closed.