Local Wisdom dalam Hasanah Budaya

Oleh: Yazid Mar’i

mepnews.id – Sejarah nama desa Pacul di Bojonegoro yang sering terdengar berasal dari kata 4 yang tidak boleh lepas “papat ojo sampek ucul”, dengan mengambil istilah dari Ki Buyut Mertoyudha. Meski tidak ada situs yang menjelaskannya. Sementara versi lain yang lebih kuat belum menggema.

Menurut para sesepuh desa, awal mulanya, Pacul masih berupa hutan belantara, lalu berangsur dibuat permukiman oleh Eyang Warso (suami) dan Sumilah (istri), punya satu anak laki-laki tetapi meninggal diusia muda. Kawasan tersebut akhirnya berkembang menjadi perkampungan dan merupakan wilayah penghasil padi, dengan mayoritas penduduknya sebagai petani. Setelah Eyang Warso dan Eyang Sumilah meninggal konon secara muksa raga di tempat yg sekarang ini dijadikan kamar mandi SDN Pacul III, maka kepemimpinan di teruskan oleh cantrik (murid) nya yang bernama Ki Ampoh, odan dari masa ke masa semakin berkembanglah kawasan tersebut hingga akhirnya diberi nama desa Pacul.

Jadi penyebutan nama Pacul tidak terlepas dari matapencaharian penduduknya yang sebagian besar menjadi petani sehingga akrab dengan berbagai alat pertanian khusunya cangnkul (pacul).

Ki ampuh sendiri akhirnya dimakamkan di pemakaman umum Desa Pacul dan menjadi sesepuh desa / punden desa yang sangat dihormati sampai dengan sekarang, Penghormatan tersebut tercermin setiap acara manganan/bersih desa yang dipercaya sebagai hari kelahiran desa yang kegiatan utamanya berupa tasyakuran dan doa bersama untuk para leluhur desa yang telah meninggal.

Nama Ki Ampuhpun sekarang diabadikan oleh warga yang ada di sekitar punden dengan nama Gg. Ki Ampuh.

Ada juga cerita dari sesepuh desa Pacul yang lahir tahun 2013. Beliau menyampaikan, bahwa dahulu ada orang pinter yang bernama Eyang Reso Truno. Karena kepintarannya, iapun oleh Belanda ditawari untuk menjadi Punggawa Belanda, namun ia tolak dan lebih memilih menekuni profesinya sebagian petani dengan pacul sebagai salah satu alatnya, sehingga desa itu dinamai Desa Pacul. Untuk mengabadikan namanya Reso Truno saat ini dipakai sebagai nama lapangan olahraga Desa Pacul.

Apapun kisah cerita yang mewarnai, hakekatnya adalah sejarah yang harus diingat, dalam menumbuhkan nilai-nilai luhur yang tetanam sejak lama. Hari ini tentu semangat dan nilai luhur (gotong royong, guyub, rukun, percaya diri) itulah yang harus mengalir disetiap warganya.

Di samping sejarah desa Pacul, Seni reog di desa Pacul bisa saja disebut diantara sederet kearifan lokal (local Wisdom) yang berdiri sejajar dengan seni “jedoran” yang mulai terdengar langka. Dahulu selain “sindir atau lagen tayub” yang dimainkan ketika kegiatan manganan “sedekah bumi” menandai rasa syukur pasca panen padi. Sayup-sayup juga terdengar “jedoran” yang biasa dipertunjukan saat bulan Maulud “muludan” atau saat menjelang “sunatan” atau Khitan. Hari ini hanya tinggal “dibaan” yang masih menggema du masjid-masjid dan mushola.

Jika difahami, bahwa diantara tugas pemerintahan desa juga termasuk didalamnya menjaga “local Wisdom”, tentu RKP juga harus dapat memberikan angin segar bagi eksistensinya.

Realitas yang ada, tinggal ” Sindiran atau langen tayub” yang sementara diakomodasi oleh RKP. Tentu kedepan perlu difikirkan bersama bagaimana eksistensi reog, jedoran, dibaan, mampu berkembang bersama sebagai kekayaan dan hasanah budaya yang didalamnya memiliki nilai-nilai positif yang tertanam lama pada warganya “relegiusitas, gotong royong, empati, dan rasa memiliki desanya”.

Sebuah potensi yang musti digali.

Facebook Comments

Comments are closed.