Oleh: Moh. Husen
mepnews.id-Memasuki hari raya idul Fitri 1442 H dengan keadaan sehat wal afiat saja rasanya sudah bersyukur sekali. Bisa bernafas dengan lancar. Ngopi pagi. Ah, betapa nikmatnya.
Apapun keadaan kita dalam hari raya kali ini, tariklah nafas panjang-panjang kemudian hembuskanlah kembali nafas itu, seraya bersyukur bahwa apapun yang terjadi kepada kita saat ini adalah yang terbaik.
Marilah kita berhenti sejenak dari terlalu menghakimi diri sendiri, entah sebagai pribadi yang gagal, tertinggal, hancur, dan sebagainya. Bahwa evaluasi diri itu perlu. Akan tetapi jangan terlalu percaya bahwa evaluasi diri perlu seseram itu.
Bertemu teman yang sukses dalam usia tertentu, sedangkan kita rumah plus pekerjaan saja masih belum jelas, ya tidak apa-apa. Disyukuri saja. Bila memang itu fasilitas terbaik dari Tuhan saat ini, insya Allah barokah, aman, nyaman, dan sejahtera.
Seorang penikmat kopi hitam bersyukurnya luar biasa meskipun aksesoris lebarannya yang baru hanya berupa sarung dan baju koko. Itupun pemberian temannya. Selain itu, lama semua.
Untungnya situasi rasa lebaran itu hanya sehari dua hari. Sehingga dari shalat Idul Fitri hingga malam hari dia silaturahmi ke mana-mana pakai baju dan sarung itu, orang merasa senang karena dianggap masih bisa berhari raya.
Nah, gara-gara nggak punya baju baru inilah, dia bilang ke temannya bahwa dia sedang berjalan ke masa lalu lewat thoriqoh baju lama. Itupun ternyata masih belum ke masa lalu yang paling lalu. Idul Fitri itu kembali ke masa lalu yang paling sangat lalu sekali, yakni tatkala kita masih suci.
“Kalau kamu sudah kembali ke masa lalu yang paling lalu itu, lihatlah sekarang. La yamassuhu illal muthohharun. Tak bisa disentuh makna Firman Tuhan kecuali orang yang tersucikan. Penglihatanmu akan beda. Pemahamanmu akan beda. Proses puasa kemarin sebenarnya menghantarkan kita semua ke dalam diri yang paling sejati itu,” si penikmat kopi hitam dengan santai menyampaikan hal itu ke temannya.
Temannya sendiri sudah bisa memaklumi. Bahwa dampak positif thoriqoh baju lama itu, akan melahirkan butir-butir kalimat filosofis yang dalam seperti itu. Untung dia nggak bikin puisi dan malas bikin puisi.
Akhirnya pembicaraan dibelokkan oleh si teman mengenai bedah buku, antusias mahasiswa peduli literasi, orang-orang yang tak lagi menyembah label-label kultural dan nama besar apalagi nama kecil, sekolah online, warung kopi kapan buka, dan lain-lain.
Pokoknya jangan mbahas Idul Fitri.
(Banyuwangi, 16 Mei 2021)