Ssttttt…. Jangan Ngomongin Orang Kaya

Oleh: Moh. Husen

mepnews.id – Kalau agama jelas tidak boleh dipaksakan. Al-Quran telah memandu dengan jelas: la ikroha fiddin. Tak ada paksaan untuk masuk agama. Tuhan sendiri pun demikian. Tak pernah memaksa agar manusia percaya kepada-Nya. Barangsiapa yang beriman, berimanlah. Barangsiapa yang kafir kepada-Nya, kafirlah. Tuhan tak memaksa dan tak butuh.

Akan tetapi tentu saja agama berbeda dengan sahabat saya yang bernama Taufiq Wr Hidayat. Penulis buku Dalil Kiai Sutara (PSBB/2020) domisili Muncar ini boleh saya paksa untuk mampir ngopi di tempat saya, di Rogojampi. Bahkan bukan cuma boleh saya paksa ngopi di Rogojampi, tapi saya paksa juga dia untuk mbayari ngopi-ngopi saya ini, hehehehe…

Usai acara diskusinya Taufiq Wr di Disbudpar Banyuwangi, dan sesampainya dia di tempat saya biasa ngopi, dia langsung saya ‘provokasi’: “Kang, yang paling sangat perlu disuruh untuk banyak-banyak shalat malam di masjid, sujud kepada Allah sampai nangis-nangis itu mestinya orang-orang kaya, Kang. Lihatlah!! Orang-orang kaya itu sangat ngawur kalau ngomong, tak punya rasa malu kalau ingkar janji, ringan sekali menipu, fitnah-fitnah, memecah belah. Mereka lebih membutuhkan hidayah Tuhan ketimbang orang miskin yang rata-rata hidupnya sangat sopan dan mengalah…”

“Orang miskin itu,” saya melanjutkan, “selalu diajari sopan santun demi membenarkan congkaknya orang kaya. Sering diceramahi kesabaran demi menahan kesombongannya orang kaya. Orang kaya nggak bisa salah dan tak pernah meminta maaf, sedangkan orang miskin kalau sampai dia berani menyalahkan kesalahannya orang kaya, langsung dianggap calon penghuni neraka paling dalam karena dianggap tak punya akhlak oleh orang kaya kepada orang kaya…”

“Pokoknya Kang,” saya masih meneruskan, “ngopi kita kali ini membahas orang kaya yang lupa diri, yang berada dimana saja. Dari orang kaya yang berada di kantor-kantor sana, hingga orang kaya yang punya komunitas santri. Malam ini kita membicarakan orang kaya supaya justru kita menjadi ketularan ikut kaya Kang. Masak kita dari dulu melarat terus, hehehehe…”

Taufiq Wr lantas merespon apa yang saya omongkan itu, namun sengaja tidak saya tulis di sini. Bagi yang penasaran, kapan-kapan bisa saya ceritakan di warung kopi sambil membahas wingitnya puasa dan persiapan lebaran yang darurat.

Malam itu saya justru membayangkan dibisiki pelan-pelan oleh tokoh imajiner Taufiq Wr dalam bukunya, yakni Kiai Sutara. Beliau, Kiai Sutara, berkata lirih: “Ssttt…. Jangan ngomongin orang kaya. Kamu yang masih melarat bisa tambah pusing jika hutang-hutangmu yang belum bisa bayar hingga sekarang itu ditagih oleh orang kaya.”

“Hahahahaha…. Ampuuuunnnnn Kiai…. Siap Kiai…” Saya langsung tertawa seraya mohon ampun.

Kiai Sutara menghilang. Alhamdulillah saya tidak dipisuhi apalagi sampai dilempari asbak oleh Kiai Sutara. Lebih alhamdulillah lagi, kopi saya dibayari Taufiq Wr.

“Terima kasih Kang Taufiq, kapan-kapan kita ngopi-ngopi lagi…” Saya berterima kasih seraya kami sama-sama mau pulang.

“Oke siap Kang Husen…” Balas Taufiq Wr sambil otw pulang ke Muncar.

(Banyuwangi, 6 Mei 2021)

Facebook Comments

Comments are closed.