mepnews.id – Beruntung gempa yang berpusat di perairan Kabupaten Malang tidak memicu tsunami. Andai terjadi gelombang besar, korban jiwa dan materi bisa lebih besar daripada yang tercatat saat ini.
Gempa dengan magnitudo 6,1 mengguncang pukul 14.00, Sabtu 10 April. Pusat gempanya di lepas pantai selatan Kabupaten Malang. Namun, guncangannya terasa di berbagai tempat di Jawa Timur dan bahkan smpai Tabanan (Bali) dan Yogyakarta. Setidaknya, delapan orang tewas, 39 terluka, serta 2.848 rumah rusak di 16 kabupaten dan kota di Jawa Timur.
Menurut peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) ITS, Dr Ir Amien Widodo MSi, gempa disebabkan aktivitas zona subduksi yang terbentuk akibat tumbukan lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Tumbukan terjadi sekitar 200 kilometer dari pantai selatan Jawa.
“Karena posisi tumbukan miring, maka sepanjang jalur tumbukan dua lempeng tersebut terjadi gempa,” terang dosen Departemen Teknik Geofisika ITS ini. Kejadian ini lumrah terjadi mengingat letak geografis Indonesia di pertemuan tiga lempeng utama yaitu Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik.
Tumbukan dua lempeng tersebut terus mengalami pergesaran yang kecepatannya 7 sentimeter per tahun. Pergeseran akan terus terjadi hingga ada bagian tumbukan yang pecah dan menimbulkan gempa. “Jalur tumbukan ini berada dari daerah Banten hingga Banyuwangi,” ungkap alumnus Universitas Gadjah Mada ini.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur, gempa tidak berpotensi tsunami. Amien menjelaskan, tidak adanya potensi tsunami ini karena pergeseran lapisan terjadi secara horizontal. Ini tidak menyebabkan gelombang tinggi air laut.
Amien berharap seluruh masyarakat Indonesia lebih waspada dan mengenali potensi-potensi bencana alam agar mampu meminimalisir korban jiwa. “Indonesia terletak di daerah rawan bencana alam, maka masyarakat harus bisa mengenali ancaman-ancaman ini dan beradaptasi dengannya.”(HUMAS ITS)