MEPNews.id – Pandemi COVID-19 serta kebijakan PSBB pemerintah membuat orang diharuskan mengisolasi diri dan membatasi kegiatan di luar ruang. Tujuannya mencegah penyebaran virus. Masalahnya, terlalu lama isolasi membuat orang dihadapkan pada ancaman kesehatan psikologis yang sering disebut cabin fever.
Masalah ini berupa demam dalam bentuk rasa kegelisahan akibat terisolasi dalam suatu tempat untuk waktu lama. Psikiater dan spesialis kedokteran jiwa UNAIR, dr Hafid Algristian SpKJ, mengungkapkan cabin fever berpotensi besar muncul di masa-masa pandemi ini.
“Tidak semua orang menyadari gejala ini. Tapi, jika telah belajar, mungkin kita akan lebih menyadari gejala cabin fever dalam diri kita,” kata dr Hafid dalam diskusi via zoom yang diadakan FK UNAIR dan Meniscus, Jumat 22 Mei 2020.
Cabin fever bukan diagnosis maupun sindrom, dan penyembuhannya dapat dilakukan melalui manajemen stres. Maka, tidak perlu diberikan medikamentosa atau obat-obatan.
Gejalanya muncul ketika individu mengalami deprivasi sensorik saat secara tiba-tiba harus membatasi sosialisasinya. Hal tersebut membuat ia mendapat sensor cahaya dan suara yang terbatas sehingga kerap kali menimbulkan halusinasi.
“Mungkin kita saat sendirian tiba-tiba teringat memori masa lalu hingga seakan memori itu berbicara pada kita. Sebenarnya itu bukan hal serius. Tapi, itu dapat dikategorikan sindroma bila kita menikmatinya, lalu memori menjadi personifikasi dari karakter yang kita ciptakan sendiri,” tuturnya.
Ada lima gejala umum penderita cabin fever.
Pertama, gejala demotivasi. Penderitanya merasa putus asa, kosong, dan kehilangan empati. “Pada gejala ini, ada baiknya kita tidak memberikan motivasi atau masukan positif. Itu hal yang akan sulit diterima penderita,” kata dr Hafid.
Kedua, gejala kognitif, gangguan konsentrasi atau sulit fokus yang membuat orang tidak produktif. Ketiga, gejala insomnia-parasomnia yang mengganggu tidur hingga sleep walking. Keempat, gejala psikomotorik atau gangguan energi, berupa kelebihan energi yang membuat sensitif maupun kekurangan energi. Kelima, gejala otonomik atau gangguan buang air besar atau buang air kecil.
“Karena cabin fever adalah sekumpulan gejala, maka seseorang harus mengalami beberapa dari gejala-gejala itu untuk dapat disebut mengalami cabin fever. Itu pun juga harus diikuti riwayat deprivasi
sensorik dan pembatasan motorik,” ungkapnya.
Dr Hafid juga mengomentari fenomena panic buying dan abainya masyarakat terhadap kebijakan PSBB. Fenomena tersebut bisa saja merupakan gejala cabin fever, tetapi umumnya lebih dipicu oleh rasa bosan atau ‘balas dendam’ akibat pembatasan sosial terlalu lama.
“Hendaknya kita mengembangkan cara berpikir kreatif, sering berkomunikasi, cari solusi, maupun berbagi informasi dan keberhasilan yang membangun. Nantinya kita tidak merasa terjebak dan tertekan pada situasi karantina yang masih terus berjalan entah sampai kapan,” kata ia.