MEPNews.id – Penulis yang baik bukan hanya ahli mengelola kata dan kalimat, tapi harus suka silaturahim, punya jaringan luas, menjadi pelayan kehidupan. Menanamlah yang tak henti.
Sungguh sangat bersyukur saya ditakdirkan oleh Allah bisa bertemu, sekaligus berinteraksi secara lumayan intens dengan pribadi bernama Yusron Aminulloh. Semua itu berawal dari satu tulisan, semua itu karena tulisan serta satu komitmen untuk terus menulis. Hingga membuat saya bisa menjalin komunikasi dengan beliau.
Selain dalam diri M Husnaini, orang pertama yang mengajari saya bagaimana dan apa itu menulis, satu figur guru, sahabat, serta kolega yang tak segan menegur bila saya keliru.
Sehingga tarulah ketika tulisan saya ada dan memang terbaca ada yang kurang pas, maka ia pasti bilang jelek tanpa tedeng aling-aling. Ia selalu mengatakan apa adanya dan hal ini yang membuat saya bersyukur dapat menjadi salah satu muridnya.
Setelah itu, guru menulis saya berikutnya ada di diri Yusron Aminulloh. Beliau merupakan figur tak tergantikan yang membuat saya semakin terasah untuk terus dapat menajamkan pikiran lalu memperuncing mata pena, sehingga secara perlahan saya bisa meningkatkan kualitas serta kuantitas tulisan.
Sampai detik ini. Saya masih akan terus belajar bagaimana menulis secara ringkas, menulis secara padat tetapi tetap berisi tanpa hilang esensi dari setiap tulisan-tulisan beliau.
Sebab, saya sadar sepenuhnya bila di setiap tulisan yang saya hadirkan itu barulah sekadar untuk mengikat segala yang saya amati dan baca. Kadang malah kering makna. Maka jujur saya akui, di dunia tulis menulis saya hanyalah bak anak kecil yang baru timik-timik belajar berjalan. Saya ini penulis pemula yang selamanya akan terus jadi pemula.
Untuk itu, biarlah kelak waktu yang menggiring ke mana setiap tulisan itu berlabu. Biar sang waktu yang akan jadi jawaban atas segala proses yang saya lakukan.
Terkait hal itu, ada satu hal yang selalu saya catat lalu saya ingat sebagai nasihat dari Pak Yus, pesan yang ditujukan langsung kepada saya agar terus memperbanyak segala yang ditanam, sekaligus menebar banyak kebaikan supaya kelak bisa jadi pribadi pelayan kehidupan.
Nasihat demikian telah saya abadikan sebagai paragraf pembuka dari tulisan ini. Tentu saya bersyukur, sekali lagi sangat bersyukur atas segala karunia yang Allah berikan, termasuk bersyukur atas segala kesempatan yang dibentangkan sehingga saya dapat berinteraksi, berdiskusi, bahkan berkolaborasi dengan figur guru hebat sekaligus sosok bapak yang telah banyak menebar manfaat bagi umat tersebut.
Terlebih saya semakin bersyukur semenjak ada DeDurian Park, satu gagasan cerdas dari Pak Yus yang kini telah, masih, dan akan terus melakukan proses berbenah menata lalu mempercantik isi serta tampilannya.
Di sana, melalui forum hebat bernama berjamaah bersama di Kebun Berkah DeDurian Park, saya menemukan momentum tepat guna mengaktualisasikan nasihat bijak di atas. Dengan berjamaah itu pula, yang semula mustahil kini jadi nyata. Yang awalnya tidak mungkin kini terjadi. Semua itu akibat efek dahsyat konsep berjamaah.
Di DeDurian Park, secara perlahan setahap proses demi proses, khususnya bagi saya pribadi, dengan berjamaah di sana, saya merasakan banyak lompatan dahsyat di laku kehidupan yang saya jalani.
Terus terang, ada motivasi lebih bukan sekadar mencari untung apalagi berbicara apa yang kelak saya dapatkan setelah resmi menjadi jamaah, tetapi saya merasa ada begitu banyak kebaikan-kebaikan yang kerap hadir yang membuat ritme hidup semakin penuh makna.
Yang paling penting, dengan berjamaah di DeDurian Park, membuat lingkaran pertemanan yang saya miliki semakin banyak serta luas. Bertambahnya sahabat sevisi dari berbagai macam latar belakang, profesi, dan usia. Hal ini yang menjadikan kebahagiaan tersendiri yang tidak terbeli oleh sekadar materi.
(Aditya Akbar Hakim)