Foto : Ilustrasi
MEPNews.id – Dulu ketika kita lahir ke dunia, kita menjerit lalu menangis, tapi semua orang menyambut kita dengan penuh gembira serta tawa.
Namun, kelak saat kita meninggal, selain keluarga dekat kita, adakah jaminan bila orang lain di luar keluarga kita akan juga menangisi kepulangan kita ke alam abadi, sedangkan di sisi lain kita dapat tersenyum menyambut kedatangan Izroil yang mendapat mandat dari Allah untuk mencabut nyawa kita.
Memang dulu ketika kita lahir ke dunia kita menangis, kelak saat meninggalkan dunia kita tersenyum penuh keceriaan. Kita perlu merancang asa juga harapan yang mesti kita wujudkan ke dalam aksi-aksi nyata berujung kebaikan. Agar saat kematian datang bisa kita sambut dengan penuh suka cita.
Kita menyambut maut dengan ceria, mati bukan untuk kita takuti tetapi mati adalah batasan sekaligus pengingat bagi kita untuk tidak terlampau berlebihan menjalani lakon di kehidupan dunia. Untuk itu, bagi calon-calon penghuni surga, mereka menyambut mati dengan ceria, jasad mereka memang telah tiada tetapi jejak kebaikan yang pernah mereka tanam akan senantiasa ada.
Siapa para calon-calon penghuni surga tersebut, tarulah bagi mereka yang punya karya, khususnya para penulis produktif dengan karya buku dengan begitu banyak jumlahnya, mereka ini adalah satu dari calon-calon ahli surga itu. Sebab, saat hidup di dunia mereka telah meniti jalan dengan banyak meninggalkan legacy bagi anak cucunya, orang lain, dan semesta pada umumnya.
Legacy itu berupa karya yang bermanfaat untuk masyarakat luas, termasuk karya berupa buku yang mampu menghadirkan taburan kebaikan bagi para pembaca. Terkait hal ini, bagi diri kita pribadi, agaknya sangat penting bahkan wajib bagi kita mengupayakan minimal punya satu karya berupa buku, minimal satu buku hasil tulisan kita sebelum maut datang menjemput kita.
Prinsipnya di situ, kita hidup bernafaskan menulis, menghasilkan tumpukan karya, hidup pun penuh makna karena ada alasan bagi diri kita untuk bisa meraih tiket surga. Sehingga, tatkala kita hidup. Kita konsisten menjadikan menulis sebagia kebutuhan. Maka jangan kaget saat kelak kita telah mati, begitu banyak semesta yang akan berebut ingin menulis tentang kiprah kita.
Jadi, hidup menulis mati ditulis benar-benar kita alami. Semoga saja hal itu terwujud asal kita punya tekad kuat dibarengi dengan aksi nyata berproses menuju harapan mulia tersebut. Sekali lagi, mumpung kesempatan hidup masih kita miliki, usia masih terbilang produktif, sehat juga masih kita nikmati. Apalagi yang menjadi penghalang bagi kita untuk menjadi pribadi bermanfaat penuh makna.
Sebab, percuma kita hanya sekadar tahu bila hidup kita ini hanya sekali. Di dunia ini adalah panggung menanam, menebar benih yang banyak lalu kelak di alam abadi baru kita petik hasilnya.
Dengan begitu, hidup di dunia jangan asal hidup lalu sekadar numpang lewat tanpa ada jejak yang bisa dikenali oleh lintas generasi. Hidup yang hanya sekali ini, penting bagi setiap pribadi merangkai jejak keabadian.
Tubuh boleh berkalang tanah tetapi karya tetap mengabadi selamanya. Sehingga bonus lain berupa pahala dapat kita terima akibat nilai lebih dari karya yang telah kita hadirkan bagi para pembaca.
(Aditya Akbar Hakim)