Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id – Sebuah teori menulis menyatakan: menulislah walau satu kata. Satu kata? Satu kata saja? Ya, benar. Satu kata saja. Misalnya, diam. Pembaca akan berfikir dan mengambil kesimpulan mengenai diam yang berbeda pemaknaannya dari diam yang ia fahami kemarin. Apalagi jika kata diam ditulis oleh seorang politisi. Kesan penafsirannya akan berbeda dibandingkan kata diam yang ditulis oleh seorang penikmat kopi.
Besok menulis lagi, misalnya, batu. Besok lagi menulis, kayu. Besok lagi menulis agak nggaya sedikit, misalnya, fitnah. Besok lagi, adu domba. Besoknya lagi, jangan mudah tertipu. Besoknya lagi, i love you. Terus menulis dari satu kata hingga menyukai dua kata, tiga kata, hingga sekian kalimat, hingga sekian paragraf, hingga mungkin menjadi sebuah buku dan berbuku-buku.
Kok gampang? Lha, iya memang gampang. Apanya yang harus dipersulit? Memang gampang. Dan lebih sangat gampang lagi jika yang menulis bukan penulis dan tak pernah merasa sedikit pun bahwa ia penulis. Kalau penulis yang sungguhan dia akan mempertimbangkan banyak hal, entah mengenai baik buruk, sopan tidak sopan, mencerahkan atau provokatif, menjadikan pembacanya semakin tambah berilmu dan berwawasan luas atau justru menjadikan pembacanya semakin dangkal, dan seterusnya.
Maka jangan pernah sungguh-sungguh menjadi penulis, tapi teruslah menulis dengan sungguh-sungguh. Menulislah. Walau satu kata tidak apa-apa. Satu kata itu terkadang sudah bermanfaat bagi orang lain. Perkara satu kata itu ditulis hanya untuk pencitraan, supaya terlihat pandai, atau agar dihormati orang, semuanya itu kembali dan tergantung kepada yang nulis. Sebagaimana para pemilik mobil tidak bisa serta merta kita tuduh pamer kekayaan.
So, menulislah sekarang juga. Satu kata saja. Ya, satu kata. Jika dari satu kata kemudian diteruskan menjadi dua kata, tiga kata, hingga menjadi sebuah kalimat, berkembang menjadi paragraf demi paragraf, hingga berjudul-judul dan berbuku-buku, silahkan. Tidak apa-apa. Segala sesuatunya akan menjadi “apa-apa” tatkala minta diakui sebagai yang paling benar. Biasa-biasa saja. Menulis ya menulis. Ada yang setuju dan tidak setuju, tidak apa-apa.
“Menulis itu belajar merasakan hatinya orang banyak,” tulis seorang penikmat kopi hitam
“Dan itu merupakan modal dasar kepemimpinan,” lanjutnya.
“Jika pemimpin tidak belajar merasakan hatinya orang banyak, jika pemimpin sesuka hatinya sendiri, maka dia akan gagal menjadi pemimpin. Hatinya orang banyak itu sedang susah, sedang gelisah, cemas, atau bagaimana? Pemimpin adalah pelayanan umat yang harus lebih mengerti umat karena memang demikianlah seyogyanya sebuah kepemimpinan,” sampai di sini ia berhenti menulis.
Kalau ada yang tanya, bagaimana cara mengerti hatinya orang banyak? Ia akan menjawab datar: “Saya ini cuma penjual gula. Kalau ingin beli bubuk kopinya silahkan ke warung sebelah.”
(Banyuwangi, 13 Oktober 2019)