Membatasi TV

MEPNews.id – Dulu sewaktu masih sekolah di Madrasah pernah aku dinasihati oleh Bapak. “Cung, ojo kakean ndelok TV, ora bakal tambah pinter koe, tambah males sing iyo, tangi turu melek mripamu ojo mbus ngedep TV, lapo ta lapo ngewangi resik-resik. Ibukmu na pawon mbok yo diewangi, isuk iku gak gone gawe leha-leha, isuk wayahe obah-obah golek barokah.”

Waktu itu, pada pagi hari setelah bangun, Bapak tiba-tiba begitu marah ketika tahu aku duduk manis di depan TV. Padahal aku tengah asyik nonton liputan berita tentang olahraga, khususnya sepak bola. Satu cabang olahraga yang begitu aku gemari. Sewaktu masih muda belia dulu, hampir saban sore hari setelah Asar aku bermain sepak bola di lapangan di bawah jembatan Sembayat pinggir Bengawan Solo.

Sehingga menjadi klop dengan hobiku itu, maka aku pun hampir punya rutinitas nonton TV menunggu liputan berita seputar dunia bola. Khususnya yang tayang di pagi hari, sekitar pukul setengah 6 itu.

Akan tetapi, di mata bapak. Kebiasaanku itu ternyata membuat amarahnya meluap, terutama ketika aku semenjak bangun tidur, tiba-tiba langsung nongkrong duduk anteng di depan TV. Bagi bapak, pagi hari bukan saat yang tepat untuk bersantai ria, dan ia akan marah ketika tahu aku terlampau berlebih-lebihan nonton TV di pagi hari yang seharusnya aku banyak membantu urusan rumah.

Dasar tabiat anak-anak, mendapat omelan dari bapak seperti itu, aku malah ikut marah, bahkan ada rasa tidak terima tapi itu hanya di dalam hati. Jelas aku tidak pernah berani alih-alih punya nyali untuk membantah kemarahan dari bapak. Dimarahi tentu aku diam, aku matikan TV, lalu pindah aktivitas yang membuat bapak tak lagi marah, meski terpaksa terasa berat aku pun ikut bantu-bantu pekerjaan rumah.

Aku hanya membatin saja, memendam rasa tidak enak hati akibat semburan amarah dari bapak. Lambat laun seiring waktu berganti, hingga usiaku beralih menjadi dari belasan ke puluhan. Hingga akhirnya, aku benar-benar menyadari bila petuah bapak tersebut, petuah yang bernada amarah itu ternyata sangat berguna untuk diriku pribadi ketika usia telah 30 tahun. Tatkala aku telah punya keluarga, ada isteri dan anak yang melengkapi kehidupannku.

Betapa dari nasihat bapak tersebut, ternyata begitu penting bahkan sangat amat bermanfaat bagiku. Bila nonton TV sewaktu pagi buta itu, sangatlah tidak bermanfaat, nonton TV apalagi hingga kelewat batas maka hal itu justru menjadi anomali, satu paradoks dari upaya menjadikan kebiasaan berdisiplin dengan meninggalkan perkara kurang penting menjadi urusan penting.

Apalagi jika nonton TV dilakukan saat mata baru terbuka melihat dunia. Bangun tidur tiba-tiba langsung melongo di depan TV. Padahal di pagi hari itu, adalah momentum bagus guna mengawali satu aktivitas ke kegiatan lain selama sehari.

Jika bangun langsung TV yang dinikmati. Maka ini artinya, budaya malas diberi tempat, padahal di pagi hari itu mestinya waktu untuk mempersiapkan segala sesuatu, waktu untuk bersih-bersih rumah, saat ibu sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk keluarganya, kita yang lelaki mesti turut ikut bergotong-royong membantu, membereskan tempat tidur, menyapu lantai, menyapu halaman depan dan belakang rumah, mengumpukan sampah lalu dibakar, dan beragam pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya.

Hal itu bagian dari proses pembiasaan khususnya bagi anak-anak agar mereka paham bila di waktu pagi bukanlah saat tepat untuk nonton TV. Tidak kurang tumpukan aktivitas penting yang bisa dikerjakan, pagi hari itu saat yang tepat menanamkan pola hidup disiplin bagi figur anak, jadi bukan malah TV yang menjadi jujukan anak untuk kemudian jadi alibi mereka enggan turut campur membantu aktivitas kerjaan di rumah.

Menonton TV tidak dilarang, silakan menikmati sajian tayangan di TV, tetapi jangan sampai TV justru merebut waktu bahkan proses belajar segala ilmu kehidupan, wabil khusus apa saja yang berawal serta bersumber dari rumah, supaya interaksi antar anggota dalam keluarga berjalan harmonis, maka batasi nonton TV.

Anak-anak perlu dibuatkan janji kapan waktu dan berapa lama boleh nonton TV, pagi hari bukan waktu yang tepat untuk ber-TV ria, saat petang jelang malam juga sama, jadi perlu ada upaya preventif supaya TV tidak sampai menggangu bahkan merusak potensi anak yang bisa kita dorong untuk tidak malas.

Jika anak-anak kita butuh hiburan, tidak harus dengan TV. TV hanyalah satu opsi hiburan tapi bukan satu-satunya solusi, membenturkan lalu melibatkan anak-anak dengan segala urusan di rumah, di lingkungan tempat tinggal, dan dengan alam semesta secara luas, hal ini tentu jauh lebih bijak plus cara cerdas supaya anak-anak kita bisa menyerap segala ilmu yang ada di kolong bumi.

Sehingga jangan sampai kita, anak-anak kita, keluarga besar kita, dan seluruh masyarakat kita malah ritus hidupnya didekte oleh TV, sehingga banyak waktu berharga kita yang hilang akibat begitu asyik dengan tontonan yang tersedia.

Sebab, satu peradaban besar suatu bangsa akan terlahir hingga terbentuk, bukan diukur dari berapa lama interaksi masyarakatnya dengan TV, apalagi menjadikan TV sebagai kebutuhan yang wajib ada di setiap rumah.

Namun, peradaban bangsa bisa disebut hebat lalu maju unggul berkualitas SDM-nya ketika mereka menjadikan menulis, membaca, mendengarkan, dan berbicara sebagai roh utama laku sehari-harinya. Jadi, kurangi menonton tontonan yang kurang bermutu tapi pertinggi intensitas menulis lalu banyak-banyaklah membaca apa saja yang tersedia di semesta.

(Aditya Akbar Hakim)

Article Tags

Facebook Comments

Comments are closed.