Profesi Penulis

Foto : Ilustrasi

MEPNews.id – Menjadi penulis di negeri ini masih penuh dengan ironi. Bukankah penulis belum atau bahkan tidak diakui sebagai profesi. Sebagai bukti, di kolom pekerjaan pada KTP-el belum pernah ditulis ada profesi sebagai penulis.

Akan tetapi lucunya negara tetap meminta sesuatu dari profesi penulis. Nyatanya negara masih saja meminta jatah kepada penulis berupa pajak atas hasil karya buku para penulis yang telah terbit.

Bukan soal berapa besaran pajaknya. Namun di sini, yang paling membuat miris adalah mengapa negara justru kerap abai pada nasib para penulis. Maksudnya, kehadiran negara di tengah kehidupan para penulis belum sepenuhnya nyata.

Kalau pun negara hadir, keberadaannya masih setengah-setengah. Negara hanya hadir ketika penulis bukunya terbit. Namun, negara seakan raib saat penulis tak berdaya sama sekali menghadapi maraknya aksi pembajakan buku karya penulis, misalnya.

Kasus terakhir itu pasti berdampak tidak baik bagi penulis. Belum lagi bagi para penulis yang menjadikan menulis untuk hidup. Dengan fenomena membanjirnya buku bajakan tentu membuat mereka lemas tak berdaya. Mereka tak mungkin bisa melakukan perlawanan. Jika buku mereka dibajak, tentu akan berpengaruh pada angka penjualan buku versi asli. Saat para calon pembaca ingin membeli dan ada harga yang mungkin lebih murah, mereka biasa tergoda lalu memilih yang imitasi.

Memang ketika harga buku yang terkadang mahal untuk sebagian orang, di sisi lain buku mahal tidak berlaku bagi mereka yang kutu buku sejati. Faktornya mengapa buku menjadi agak mahal, selain karena biaya produksi yang tinggi. Barangkali ada faktor tambah lain yang ikut mengerek harga buku menjadi lebih tinggi.

Faktor itu adalah pajak atas setiap satu eksemplar buku terbit. Tidak banyak memang tetapi jika buku sekali terbit tarulah 2000 eksemplar, tinggal kalikan dengan nilai pajak yang dibebankan.

Dengan dalih tersebut, sudah menjadi kewajiban negara untuk hadir lalu melindungi para penulis dari ancaman pembajakan buku. Penulis itu kerja pikiran, mereka butuh ketenangan dan tak boleh terlalu terganggu oleh isu-isu yang mungkin berujung pada soal finansial belaka.

Penulis sejati yang telah banyak berkarya mungkin tidak terlalu ambil pusing menyikapi maraknya buku bajakan. Akan tetapi, banyak penulis yang telah kenyang reputasi langsung sewot memuncak amarahnya ketika tahu bukunya dibajak.

Pramoedya Ananta Toer adalah contoh dari salah satu dari yang sedikit itu. Konon Pram tidak akan kompromi pada sahabat sendiri yang ketahuan membajak bukunya, ia bisa memutus tali pertemanan. Bisa jadi bagi Pram pembajakan buku adalah kejahatan yang terbungkus oleh kemunafikan tingkat tinggi.

Sekarang kembali pada profesi penulis. Termasuk profesi tak resmi yang sejatinya amat hebat dari sisi nilai investasi. Bukan sekadar investasi duniawi tetapi investasi lintas dimensi. Maka saat profesi ini ternyata telah kalah perlakuan dengan profesi lain. Dan ketika timbul presepsi yang mungkin agak apatis atas keberadaan penulis di tengah lingkungan masyarakat. Maka sungguh amat miris nasib penulis di negeri ini.

Padahal penulis itu profesi langkah. Tidak semua pribadi berani apalagi mau menekuni profesi ini. Sebagai contoh, coba kita amati di lingkungan tempat kita tinggal. Mencari orang yang piawai berpidato tidaklah sesulit mencari seorang penulis. Jumlah penulis belum tentu ada satu di suatu lingkungan setingkat desa atau kelurahan.

Memang sangat sulit menemukan orang yang mengaku secara terbuka sebagai seorang penulis, secara malu-malu penulis biasa menyembunyikan identitasnya. Sebab sebutan penulis diberikan oleh khalayak atas karya yang telah dihasilkan.

Untuk itu, ada kalanya menjadi penulis memang bukan tujuan. Sebab menulis masih kerap dijadikan sebagai aktualisasi dari hobi. Menulis sekadar mengikat apa yang sekiranya penting, menebar kebaikan, dan menanam kebermanfaatan.

Meskipun begitu, bagi siapa pun yang punya tekad ingin meniti karier sebagai penulis. Bahkan menjadikan menulis sebagai urat nadi laku kehidupannya. Maka kalimat Pramoedya Ananta Toer ini sangat relevan sebagai batu pijakan memacu motivasi diri.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

(Aditya Akbar Hakim)

Article Tags

Facebook Comments

Comments are closed.