MEPNews.id – Bagi saya pribadi, meski ini boleh jadi pendapat yang subjektif. Ketika berbicara tentang menulis sungguh tidak akan pernah kering bahan. Soal menulis itu menarik, menulis itu satu keterampilan berbahasa tertinggi dari empat keterampilan yang ada.
Menulis sendiri sejatinya bukan melulu soal bakat tapi lebih pada kemauan. Pada dasarnya semua orang bisa menulis. Namun tidak semua orang punya kemauan untuk menulis. Ambil satu contoh pada sosok guru. Guru yang terbiasa berbicara, guru yang hampir setiap hari mengajar serta berinteraksi dengan siswa, tentu mereka seharusnya bisa menulis. Mengapa?
Guru yang bisa menjelaskan pasti mereka awalnya perlu membaca, lalu setelah itu guru perlu berbicara menjelaskan dan sudah saatnya dari setiap apa yang diucapkan perlu ditulis. Sebab stok ide dan informasi dalam pikiran telah ada tersedia, karena tiap hari berinteraksi dengan siswa.
Namun, ternyata hanya sedikit sekali dari sekian juta populasi guru yang mau menjadikan menulis sebagai rutinitas harian. Guru itu mengajar bukan menulis. Pernyataan seperti ini telah populer di kalangan para guru. Guru di negeri ini sudah banyak tututan administrasi, sehingga tidak ada waktu untuk menulis hal lain kecuali mengajar. Di situ menulis kalah dengan beragam alibi. Padahal problemnya hanya ada pada: adakah kemauan untuk menulis itu.
Fenomena demikian memberikan arti, bila teori menulis itu penting tetapi tidak mutlak. Sekadar tahu teori tapi nir praktik, maka sama juga omong doang. Yang paling mendesak dari soal menulis ini sekali lagi ada–dan pada punyakah kita tekad kuat plus sanggup konsisten untuk menulis. Guru itu sedikit banyak tahu bahkan paham meski belum terampil untuk menulis. Ya sebatas tahu tapi belum banyak yang mau menulis.
Sehingga tarulah bila kita mau berikrar akan menulis setiap hari, misalnya. Sekarang mampukah? Tentu kembali pada diri pribadi masing-masing. Sebab kita kadang amat sulit membuat komitmen dengan diri bagaimana bisa menulis tiap hari. Bisa jadi justru tuntutan menulis tiap hari itu malah menjadi beban yang menguras energi juga pikiran.
Akan tetapi, jikalau kita mau apalagi mampu konsisten dengan komitmen demikian. Niscaya hasilnya akan dahsyat luar biasa. Saat kebiasaan menulis tiap hari telah jadi kebutuhan. Saat tidak menulis sehari saja, kita merasa ada sesuatu yang hilang, kita merasa ada gejala yang aneh, kita gelisah, pikiran kita terasa penuh sesak dengan ide-ide yang akan hilang bila tidak segera ditulis.
Maka dari itu, kita pun perlu untuk menuliskannya. Hal ini berlaku bagi mereka yang telah punya komitmen tinggi serta sadar akan kebutuhan menulis sebagai proses kreatif seorang pribadi.
Sehingga ketika sehari tidak menulis. Ia anggap itu sebagai utang. Ada tanggungan tulisan yang mesti ia berikan untuk hari di mana ia absen tidak menulis. Namanya juga utang, selamanya akan tetap jadi utang bila tidak dibayarkan, dan cara bayarnya adalah dengan tulisan.
Komitmen seperti itulah yang maha berat dari soal menulis ini. Jadi bukan soal berbakat atau tidak, alih-alih telah menguasai teorinya apa belum. Belajar menulis jika terlalu banyak asupan teori maka boleh jadi semakin membuat kita takut, minder, tidak yakin, dan susah membuat–merampungkan satu tulisan.
Jika kita ingin belajar menulis, caranya hanya dengan banyak-banyak menulis, segera menulis saja dulu, upayakan tiap hari menulis bila sanggup. Kalau berat, satu pekan tiga tulisan atau silakan yang bersangkutan membuat kesepakatan dengan diri sendiri. Mau menulis setiap hari apa.
Terakhir, pada soal apa yang hendak kita tulis. Tentu menulislah dari apa yang kita mampu, menulis yang kita tahu, menulis yang kita paham, dan menulis yang kita senangi. Dengan begitu, kita akan nyaman tidak terbebani dengan tumpukan utang tulisan yang mungkin kita ciderai akibat kita miskin komitmen.
(Aditya Akbar Hakim)