MEPNews.id – Tanah Indonesia itu subur luar biasa, lahan pertanian, perkebunan, dan atau hutan yang kita miliki amatlah luas meski semakin ke sini terus mengalami penyusutan akibat alih fungsi lahan. Apalagi negeri kita ini sungguh sangat kaya akan beragam kandungan mineral yang cukup melimpah.
Setiap anak negeri pasti tahu akan fakta ini. Cukup banyak analogi yang digunakan betapa bumi pertiwi sangat gemah ripah loh jinawi. Tanah subur luar biasa, segala macam tumbuhan hidup serta tersedia di sini. Sehingga tak heran bila negeri kita ini dikenal bak potongan tanah surga yang ada di bumi.
Akan tetapi, mengapa untuk beragam kebutuhan, kita justru masih begitu sering bahkan banyak memilih untuk mengimpor dari luar negeri, bahkan yang ironi yang kita beli dari luar itu banyak merupakan komoditas pangan guna kebutuhan sehari-hari. Bukankah sudah cukup sering telinga kita mendengar, mata kita menonton beragam berita tentang pemerintah yang biasa mengimpor beras dari Vietnam, misalnya.
Terkait itu, saya memang tidak mempunyai data persis berapa jumlah total juta ton beras yang pernah kita impor tersebut. Biarlah kali lain saya sodorkan ke para pembaca (saya perlu berburu data dulu). Kali ini, melalui tulisan berikut coba kita memikirkan fenomena impor pangan dari sisi sudut pandang para petani, mereka yang menjadi pelaku di lapangan yang setiap hari berkecimpung di sawah, di ladang, atau di kebun.
Para petani itulah yang paling tahu sekaligus paling merasakan dampak atas kebijakan impor beras. Apalagi jika kita amati, sudah sering terjadi saat musim panen padi, justru yang terjadi pada para petani kerap merugi, harga gabah akan anjlok, nilai jual yang turun akibat stok di gudang menumpuk apalagi setelah diserbu beras dari luar negeri.
Mengapa yang demikian terus saja terjadi. Adakah solusi yang bisa membuat para petani tersenyum gembira menyambut panen raya. Tentu yang menjadi harapan para petani itu adalah soal keberpihakan dari pemerintah. Negara harus membuat kebijakan yang pro para petani. Negara wajib hadir dengan cara menyerap lalu membeli gabah atau beras dari para petani. Bukan malah sebaliknya, negara justru sibuk menyusun lalu menghitung angka-angka sekian juta ton kebutuhan pangan tetapi ujungnya lagi-lagi masih saja impor.
Jikalau harus serta masih terus mengimpor, sebaiknya itu dilakukan bukan saat masa panen raya, tidak dilakukan saat para petani sedang menanti hasil dari jerih upayanya bertani padi. Supaya lebih menenangkan serta membuat para petani di dalam negeri optimis menatap masa depan. Penting kiranya ada kebijakan yang radikal dengan cara stop segala impor kebutuhan pangan, khususnya beras.
Dengan no impor artinya negara telah membentengi harga diri setiap warganya dari mental selalu bergantung kepada pihak lain. Negara punya kewajiban itu. Apalagi kita ini sejatinya negeri super kaya, negeri kita ini tersohor sebagai negeri agraris. DNA nenek moyang kita itu petani, ilmu bertani merupakan warisan luhur dan berharga yang sampai hari ini menjadi identitas utama hampir setiap anak negeri.
Adakah pemerintah berani untuk stop segala aktivitas impor, khususnya impor bahan pangan yang sebenarnya di negeri kita stoknya melimpah? Soal pangan sejatinya di negeri kita punya serta miliki. Agaknya sulit bagi kita merumuskan jawabannya. Yang bisa memberi jawaban adalah mereka yang diserahi amanat dari rakyat untuk mengatur negeri ini. Mereka yang duduk di kursi kekuasaanlah yang wajib serta paling tahu harus dijawab apa dan bagaimana. Kita sebagai rakyat biasa hanya bisa berharap, atau cukup berdoa semoga mata hari setiap pemilik kebijakan itu terbuka dan lebih memilih untuk mau berpihak kepada anak negeri sendiri.
Sebab tentu tidak gampang meluncurkan kebijakan stop impor. Pasti akan ada banyak resistensi dari berbagai oknum, para pemilik kepentingan yang urusannya terusik bila harus tiba-tiba stop impor akan menjadi lawan paling garang bagi pemerintah yang berani berpihak pada para petani. Alih-alih lazim kita ketahui meski untuk membuktikan sangatlah tidak gampang, kebijakan impor pangan, atau pilihan untuk perlu impor atau tidak. Di situ memang sangat dilematis penuh godaan bagi yang tak kuat iman, betapa amat menggiurkan iming-iming fee dari transaksi sekian ribu dollar bagi yang gelap hati serta tak punya empati kepada kondisi serta nasib warganya sendiri. Hai, pemerintah punya nyalikah Anda?
(Aditya Akbar Hakim)