MEPNews.id – Dalam masyarakat yang lebih mengutamakan wadah daripada isi, penampilan daripada inti, dalam masyarakat yang memandang kecantikan adalah cermin dari kualitas, maka produk yang tampak cacat atau terlalu matang dipersepsi selalu buruk dan tidak layak konsumsi.
Akibat dari persepsi bahwa produk cacat atau terlalu tua kurang disukai daripada produk yang tampilan luarnya sempurna adalah 1,3 miliar ton makanan terbuang sia-sia dalam setahun di seluruh dunia. Pisang, yang kulitnya berbintik dan tampak agak layu, dibuang. Dan sejenisnya.
Sangat disayangkan jika banyak makanan terbuang mubazir saat di tempat lain masih banyak orang yang lapar. Maka, para peneliti mencari solusi potensial. Mereka akhirnya menemukan salah satu cara; produk yang ‘dimanusiakan’ dapat mengubah sikap konsumen terhadap buah dan sayuran segar tapi cukup matang. Pada gilirannya, solusi itu bisa memangkas biaya dan menurunkan dampak lingkungan dengan cara memberi makan pada penduduk dunia.
Minkyung Koo, Hyewon Oh, Vanessa M. Patrick menulis makalah berjudul ‘From Oldie to Goldie: Humanizing Old Produce Enhances Its Appeal’ yang dimuat di Journal of the Association for Consumer Research. Mereka menemukan, menggambarkan karakteristik manusia pada produk yang tampak tidak sempurna tetapi masih bergizi itu bisa meningkatkan daya tarik mereka.
“Penelitian ini mengisyaratkan, ketika produk terlalu matang dimanusiakan maka itu bisa dinilai lebih menguntungkan. Dengan cara memanusiakan produk makanan, kita bisa mengarahkan konsumen untuk mengevaluasi produk terlalu matang dengan lensa yang lebih berbelas kasih,” tulis para peneliti.
Vanessa Patrick, Profesor Pemasaran Bauer di University of Houston, mengatakan para peneliti mengkaji bagaimana sikap terhadap proses penuaan manusia (old is gold vs young is good) saat diterjemahkan ke sikap terhadap apa yang disebut mature product (produk yang layak makan tapi sudah terlalu matang).
Proyek ini melibatkan antropomorfisasi atas buah pisang, mentimun dan zucchini. Artinya, menggambarkan produk-produk itu dengan cara yang menunjukkan sifat mirip manusia. Misalnya, pisang digambarkan berjemur sambil berbaring di kursi malas, irisan mentimun untuk membuat gambar wajah manusia.
“Dengan munculnya iklan-iklan produk segar, proses pematangan dan penuaan tentu mendorong perubahan nyata. Seperti halnya pada manusia,” kata Patrick. “Itu bisa menciptakan hubungan dengan kualitas proses penuaan pada manusia ketika produk makanan diantropomorfisasi.”
Dalam studi tersebut, para peserta penelitian diperlihatkan penggambaran produk segar dan produk sedikit-melewati-masa-puncaknya dalam kondisi yang diantropomorfisasi dan yang tidak diantropomorfisasi. Hasilnya, produk matang yang terantropomorfis dinilai lebih disukai peserta penelitian daripada produk yang sama tapi tanpa efek antropomorfik. Untuk produk segar, antropomorfisme tidak memengaruhi persepsi.
Para peneliti mengatakan, hasil penelitian ini menunjukkan para manajer toko swalayan dan penjual sayur dan buah harus mempertimbangkan strategi serupa untuk mempromosikan produk yang mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan tetapi tetap bergizi dan lezat.
“Membiarkan produk yang menua bakal membuat mereka tak terbeli atau tak terkonsumsi sehingga nantinya hanya menjadi limbah yang terbuang sia-sia. Maka, membuat produk makanan lebih menarik bagi konsumen dapat memungkinkan manajer untuk menghindari pengurangan nilai produk yang lebih tua, dan bakna munkign malah meningkatkan laba,” kata Patrick. (*)