Satu Pohon Sebelum Mati

MEPNews.id – Di kalangan para penggiat literasi, ada adagium yang bertujuan untuk dapat memotivasi calon-calon penulis pemula yang tengah meretas asa menjadi penulis produktif di kemudian hari.

Adagium itu berbunyi: satu buku sebelum mati. Ini merupakan kalimat penandas yang sanggup memantik ghirah bagi siapa pun yang punya komitmen tinggi dengan dunia baca tulis. Saya sendiri merasakan daya magis kalimat tersebut.

Adapun pada prinsipnya menjadi penulis itu bukan tujuan, kalau dari menulis kelak mendapat sesuatu bernama materi, maka hal itu tidak lain hanyalah bonus tambahan. Ini yang menjadi pijakan saya ketika memutuskan untuk terus menekuni belantika literasi beserta anak turunannya, khususnya yang bicara tentang baca tulis buku.

Sementara itu, di sisi lain ada kalimat agak mirip dengan adagium tadi dengan kalimat yang telah saya jadikan judul tulisan kali ini. Lalu dari judul di atas coba saya kaitkan dengan situasi dan fakta yang terjadi pada kehidupan dewasa ini.

Seperti ditulis oleh Jawa Pos, bila Word Bank Group memiliki data cukup menarik, ternyata sejak tahun 1990 hingga tahun 2015. Di kurun 30 tahun terakhir, luas hutan di dunia ternyata terus mengalami penyusutan. Jika di tahun 1990, masih tercatat ada 41,2 juta km persegi hutan di dunia, tetapi pada 2015, angka itu justru menyusut hingga hanya tersisa 39,9 juta km persegi. Dan setiap lima tahun sekali sejak 1990 itu, luas total hutan di seluruh dunia nyatanya terus menyusut, angkanya selalu menurun meski jumlah penurunannya tidak terlalu signifikan.

Sekali lagi, data tersebut mencakup luas hutan di seantero bumi. Meski penurunannya kecil tetapi dengan angka tersebut tentu saja timbul satu problem pelik, entah dalam waktu cepat atau lambat angka penyusutan itu juga pasti dapat berdampak pada kondisi siklus iklim global.

Sebab ketika suhu permukaan bumi semakin panas, ditambah kandungan udara segar plus bersih semakin menipis, maka siklus iklim dapat terganggu, dan kalau iklim sudah kacau maka dampaknya akan terasa sangat masif pada kelangsungan kehidupan semua makhluk. Untuk itu, penting ada upaya penyelamatan atas kondisi paru-paru bumi tersebut dari ancaman kerusakan yang lebih parah. Mesti ada upaya nyata dengan aksi langsung tepat ke sasaran plus akar permasalahannya.

Termasuk perlu ada upaya konkrit dari pihak-pihak terkait yang punya kewajiban sebagai penanggung jawab keberadaan hutan. Dalam hal ini pemerintah selaku regulator di setiap negara yang punya area hutan dengan sebaran wilayah yang cukup luas. Pemerintah di situ wajib menjadi mediator guna menjembatani hubungan antara manusia sebagai warga bangsa dengan alam sebagai patner yang harmonis.

Untuk itu, kita selaku manusia yang beradab, kita selaku pribadi yang punya kepedulian tinggi pada keadaan lingkungan. Maka kita mesti turut berkontribusi meski pada dan dari skala yang paling kecil sekalipun, termasuk tanpa embel-embel lain apalagi gembar-gembor sekadar ingin mendapat predikat sebagai aktivis dan atau pencinta lingkungan.

Seharusnya penting untuk kita buktikan bila sebutan demikian tidak pernah jadi kenyataan. Sebab kita ternyata sadar betul dengan urgensi menanam satu pohon. Minimal satu pohon sebelum mati. Berawal dari upaya yang mungkin tampak sepele dibanding gerakan sejuta tanam pohon yang biasanya rame di ruang publik tetapi nir dampak pada kehidupan.

Maka dari itu, untuk memulai aksi tersebut, tentu akan lebih baik bila kita memulai dari rumah kita sendiri, kita awali di setiap halaman rumah kita masing-masing, kalau pun kediaman kita tak cukup lahan untuk ditanami pohon, tentu kita perlu memunculkan kesadaran mau menjaga, merawat, dan melestarikan setiap pohon yang tumbuh. Jangan justru kita apatis dengan keberadaan pepohonan yang jelas-jelas kita sangat bergantung pada kelangsungan hidupnya tersebut.

Kembali pada gerakan satu pohon sebelum mati. Coba kita bayangkan melalui angka kasar, bila kita punya anggota keluarga empat orang, lalu kita menanam pohon sejumlah itu, maka berapa jumlah pohon yang akan tertanam bila setiap keluarga punya kesadaran demikian.

Ide satu pohon untuk satu keluarga tersebut saya tangkap dari paparan Dr Suparto Wijoyo, pakar hukum Unair yang begitu concent pada lingkungan. Menurut beliau setiap jiwa berhutang pada alam, sebab alam beserta tumbuhan sebagai bagian dari populasinya selalu menyediakan, memberikan, bahkan memenuhi setiap kebutuhan pokok kita sebagai makhluk hidup.

Sedangkan kita tanpa sadar justru kerap lalai atau malah abai terhadap alam. Diri kita ini sejatinya kerap alpa tidak pernah terlintas satu keinginan alih-alih diwujudkan ke dalam aksi nyata untuk sudi menanam pepohonan. Padahal cukup satu pohon saja, yang penting pohon itu punya banyak manfaat bagi lingkungan.
Dengan mengeksekusi ide satu keluarga satu pohon, atau satu pohon sebelum mati. Maka langkah ini mungkin amat sederhana tetapi pasti berdampak luar biasa bagi sekitar lingkungan. Langkah hebat ini tentu dapat menjadi upaya untuk melawan–sekaligus merevisi data Word Bank Group di atas.

Memang untuk menuju ke sana butuh waktu, pasti tidak bisa ujug-ujug pohon yang kita tanam hari ini esok langsung tumbuh besar menjulang. Kita mesti sabar plus tekun menyirami, merawat, serta menyapu dedaunan yang jatuh dari pohon yang kita tanam.

Satu yang pasti, dengan satu pohon sebelum mati itu, maka kita telah berbuat nyata, kita telah mendayagunakan akal sehat untuk turut mengabdikan diri sebagai bentuk penghambaan sekaligus mengemban misi sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dan insya’Allah satu pohon yang kita tanam itu kelak dapat menjadi pemberat amal kebaikan kita saat hari Perhitungan.

(Aditya Akbar Hakim)

Article Tags

Facebook Comments

Comments are closed.