Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id – Malam itu, 24 Agustus 2019, saya silaturahmi menghadiri acara forum diskusi yang merk-nya kali ini sengaja tidak saya sebutkan. Saya sudah lama tidak sowan ke sini. Yang memotivasi saya untuk hadir ialah di tempat ini, disamping ada kopi dan camilan, ternyata sekarang mulai ada free wifi juga. Ini yang menggembirakan. Beberapa video yang saya anggap penting bisa saya download gratisan.
Saya datang, silaturahmi, ngopi-ngopi, guyon-guyon, ikut-ikut diskusi, lantas tak terasa acara selesai. Saya pun pamit. Tak berkesan apa-apa kecuali kebahagian dan kegembiraan bahwa saya telah bersilaturahmi dengan teman-teman yang memang sudah lama tak saling jumpa.
Paginya, saya justru baru tertohok dengan lemparan pertanyaan dalam diskusi semalam: “Kita ini sekarang mau membangun peradaban yang bagaimana? Apakah kita cukup membanggakan peradaban para leluhur pendahulu kita terus? Apakah kita akan menjadi generasi foto kopi saja? Atau peradaban baru apakah yang bisa kita bangun sekarang ini?”
Saya tidak sedang menulis reportase gaya baru. Tapi justru saya sedang menunjukkan secara terang-terangan betapa “low respons“, kepekaan diri saya begitu rendah dan lambat, yang baru saya sadari di pagi hari. Malam itu justru saya tak punya ide apa-apa. Hanya ngomong asal ngomong saja. Basa-basi atau abang-abang lambe. Nah, paginya justru saya baru dibuat merenung.
“Sial,” umpat saya.
“Sudah tanggal tua. Dompet nggak jelas. Kok pagi-pagi sudah dibikin merenung. Kurang ajar juga ya diskusi semalam, hehehehe…” saya bergumam sambil nyeruput kopi pagi.
“Tapi iya, ya. Apakah ada peradaban baru sekarang? Kok semuanya terasa foto kopi semua ini…” pikiran saya jadi terbawa arus terus merenung.
Akhirnya dari pada berkepanjangan dan saya jadi kurang khusuk menikmati hangatnya ngopi pagi ini, pikiran saya, saya tipu sendiri: “Peradaban baru itu sudah ada dan masih akan terus berjalan. Hanya saja, peradaban baru itu masih disembunyikan oleh Allah. Sehingga tak seorang pun mampu melihatnya. Mungkin belum saatnya si peradaban baru itu muncul. Lihatlah di ranah media sosial, website, blog. Mereka menulis apa saja dengan ke-adab-an yang baru. Yang berbeda dengan yang dulu-dulu. Belum lagi di tanah wilayah baru yang lain. Sekolah baru yang lain. Universitas baru yang lain. Pengajian dan pengkajian baru yang lain. Yang justru mungkin namanya bukan sekolah atau universitas, bukan pengajian atau pengkajian. Lihatlah yang lain-lain. Keadaan sudah sangat mendukung sekarang ini. Ayo, lihatlah !!!”
Mungkin pikiran saya merasa apa yang didengarnya barusan ini kok semakin konyol saja. Katanya masih disembunyikan, tapi kok malah disuruh melihatnya. Ya sudah, daripada ribut dan pusing, akhirnya bersepakat break merenung. Lantas ngopi-ngopi saja.
(Banyuwangi, 25 Agustus 2019)