Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id – Sekitar jam 9 malam handphone saya berdering. Seorang wartawan menelfon saya, mengajak ngopi di sebuah tempat yang secara zonasi tidak sampai satu kilometer dari kediaman saya. Masih mending sekolah berhalangan dengan zonasi bagi peserta didik yang berdomisili jauh dari sekolah yang dituju. Lha, kawan wartawan saya ini secara zonasi puluhan kilometer dari lokasi ngopi kami. Untung nggak ada batasan zonasi dalam perkopian, sehingga kawan saya ini bebas masuk ngopi-ngopi di wilayah saya.
Tapi ngomong-ngomong, gawat juga sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru ini. Maunya apa? Bisakah seorang murid yang pandai menimba ilmu di sekolah yang menurut dia berkualitas buruk? Apakah semua guru berkualitas baik? Apakah semua sekolah berkualitas baik? Baik dan buruk guru-sekolah menurut siapa? Apakah sekolah itu penting ataukah untuk formalitas saja? Apakah yang dinamakan ilmu hanya yang ada di sekolah sedangkan yang diluar sekolah bukan ilmu?
Ah, mumet. Mending saya bercerita perkopian saya dengan kawan wartawan saya ini. Soal zonasi sekolah yang lagi heboh hari-hari ini biarlah diurus kawan-kawan yang lain. Saya setuju dengan yang protes. Dan saya setuju dengan yang tidak protes. Soal ngerinya orang tua jika terpaksa harus menyekolahkan anaknya ke sekolah yang dianggapnya buruk, anak-anak lingkungan sekolahnya nakal-nakal, guru-gurunya nggak patut ditiru, semoga saja segera mendapatkan jalan keluar dari kengeriannya itu.
Kembali ke kawan wartawan saya. Usai ditelfon, saya langsung cabut bergegas menemui dia di tempat ngopi. Dia sudah menunggu dengan dua kawan wartawan yang lain. Saya datang dan salaman. Lantas pesan ini itu. Saya menyesuaikan diri. Saya guyon-guyon. Yang paling penting adalah saya ditraktir oleh mereka. Saya tidak tahu dan tidak peduli apakah mereka punya kesaktian khusus menembus isi dompet saya yang memang lagi sunyi. Pokoknya saya ditraktir dan ber-alhamdulillah saja.
Tapi siapakah ketiga wartawan ini? Apakah mereka wartawan sungguhan? Sedangkan semua pengguna media sosial sekarang telah menjadi wartawan yang selalu memberitakan apa saja kepada kita semua, mulai dari kecelakaan, kematian, hingga paha mulus perempuan dan aib-aib pribadi yang semestinya disembunyikan. Benarkah ketiga wartawan yang saya tulis ini benar-benar seorang wartawan?
Jawabnya adalah iya. Mereka adalah wartawan sungguhan. Saya serap berbagai macam ilmu dari mereka. Saya berguru ke mereka. Berhubung waktu saya ngopi itu belum ramai soal zonasi sekolah, jadinya tak ada diskusi mengenai zonasi. Andai ada waktu untuk bertemu lagi, tentu saya akan berguru kepada mereka terkait zonasi ini. Bagi saya wartawan itu seolah makhluk Tuhan yang serba bisa. Saya selalu kagum dengan keluasan ilmu dan informasi para wartawan.
Ada yang bilang pujian itu cenderung menenggelamkan. Lha, saya akan durhaka kalau memuji wartawan dianggap menenggelamkan. Apalagi saya sedang ditraktir mereka. Dengan penuh kemantapan dan mungkin keliru besar, saya berucap kepada diri saya sendiri: “Sesungguhnya kita semua perlu ditraktir ilmu, pengetahuan, dan informasi dari para pewarta berita. Kita berhutang budi kepada mereka. Mereka itu multi talent…”
Saya sudahi sampai di sini dulu. Selanjutnya saya ingin iseng-iseng klik sowan ke Mbah Google untuk melihat berita terbaru mengenai dampak diterapkannya sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru 2019.
(Banyuwangi, 21 Juni 2019)