Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id – Tanggal 2 Juni 2019 saya beserta sembilan teman melangkahkan kaki memasuki sebuah hall hotel legendaris di Surabaya untuk sebuah acara. Sebut saja, ‘Mencari Pengalaman Baru’.
Acara selesai hampir mendekati waktu berbuka puasa. Dengan empat kawan, saya sepakat cari buka puasa di jalanan pertigaan sekian meter dari hotel. Teman yang lain secara natural entah mencari buka puasa di mana.
Saya masuk warung yang berbeda. Berbuka dengan es teh lantas menyantap mie ayam favorit saya. Ditambah lagi ada sate telur puyuh. Wah, mantap. Saya sikat. Teman-teman telfon menyatakan sudah selesai berbuka dan menyuruh saya, kalau sudah selesai, langsung merapat juga di masjid perempatan kiri jalan. Saya oke dan ke sana.
Setelah shalat di masjid dan ini itu beres, Pak Travel saya hubungi. Penumpang tambah tiga orang yang ikut cabut ke Banyuwangi. Kami ketemu di warung kopi lesahan Jalan Pasar Besar di kawasan Genteng, Surabaya. Pak Travel siap. Kami ngobrol ngalor ngidul di warkop tersebut sembari nunggu Pak Travel.
Sekitar pukul 20.30 wib, handphone saya berbunyi. Pak Travel hampir sampai. Lantas ketemu. Karena lokasinya di pasar dan banyak tempat kulineran, para rombongan penumpang dari Kalimantan yang dijemput Pak Travel di Perak menawarkan berhenti. Alasannya, sedari tadi di kapal laut mereka belum makan. Segera Pak Travel oke. Setelah makan, langsung tancap on the way Banyuwangi.
Di mobil travel yang gelap itu, saya bergurau: “Wah, rasanya sekarang kita memasuki Gua Hiro, hehehehe…” Bukan berarti saya sedang belajar menyambungkan bahwa jika kita peka maka kejadian positif sehari-hari yang kita alami ini sungguh-sungguh sangat relegius. Mulai dari pedagang di pasar, tukang tambal ban, hingga naik travel seperti ini, betapa sangat menggetarkan relung hati ruhani.
Selama ini kita menganggap bahwa kegiatan relegius itu hanya di masjid atau di tempat pengajian. Sehingga kita dengan gampangnya memandang biasa saja ke tukang tambal ban atau pemulung sampah. Bahkan terkadang malah dicemooh: “Kok nggak rajin ke masjid sih?”
Tidakkah kita bertoleransi bahwa bagi sebagian orang, masjid mereka ada lubuk sujud hati mereka masing-masing. Toh mereka juga ke masjid dan tak buruk-buruk amat.
Ah, saya kok malah ngelantur seperti ini. Dua kali saya menikmati suasana puasa di Surabaya pada tahun 2019. Rasanya sangat relegius, meskipun tatkala malam-malam masuk warkop ditemani lagunya Via Vallen: “Sayang… Opo kuwe krungu… Jerite atiku… Mengharap engkau kembali… Sayang… Sampai memutih rambutku, ra bakal luntur tresnoku…”
Kurang relegius yang bagaimana lagi ungkapan cinta suci semacam itu? Bukankah Tuhan sangat dekat dan sangat memihak kepada ketulusan serta kesucian cinta yang semacam itu meskipun tidak dilantunkan dengan bahasa Arab?
Pada puasa 2 Juni 2019 ini, hati saya begitu bergetar dan memekik: “Ya Allah, di sini, di Surabaya ini, aku kangen, aku rindu dengan para kekasih-Mu yang saling menyatakan cinta kepada-Mu….”
Surabaya, 2 Juni 2019