MEPNews.id – April lalu, media diramaikan oleh pemberitaan mengenai wacana pemindahan ibu kota ke luar Jawa. Alternatif itu dipilih guna mengurangi beban Jabodetabek, mengupayakan pemerataan pembangunan, meningkatkan daya saing di tingkat global maupun regional, serta mengelola pemerintahan pusat yang efisien. Pemerintah telah mengkaji dan meninjau sejumlah lokasi yang akan dituju sebagai destinasi ibu kota berikutnya. Salah satunya di Kalimantan.
Meski bukan hal baru di dalam agenda pemerintahan, kabar tersebutmemantik reaksi banyak pihak. Termasuk dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Adrian Perkasa, S.Hum, M.A.
”Berbicara mengenai konteks ke-Indonesia-an hari ini, tidak bisa diselesaikan hanya dengan pemindahan pusat kekuasaan. Ini bukan solusi,” kata Adrian.
Menurutnya, pemerintah juga perlu mempertimbangkan daerah lain di Jawa untuk menggantikan Jakarta. Misalnya saja, Surabaya atau kota-kota lain di Jawa Timur. Sebab, hingga saat ini Jawa masih menjadi primadona dalam aspek pembangunan, infrastruktur, geopolitik, geostrategis maupun geokultural.
”Kita lihat saja peta-peta atau pusat kekuasaan di Jawa sejak jaman dulu. Suka nggak suka, orang bilang, Jawa itu kunci. Ya memang iya,” ujar alumnus Ilmu Sejarah UNAIR itu.
Adrian menjelaskan, pemindahan ibu kota telah berlangsung jauh sebelum era revolusi. Pada periode Jawa kuno atau Hindu-Buddha, pindah ibu kota pernah terjadi di beberapa kerajaan. Misalnya, Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Raja Airlangga serta Kerajaan Mataram Islam pada masa pemerintahan Panembahan Senapati. Biasanya, pemindahan kekuasaan dilatarbelakangi bencana alam atau peperangan.
”Dalam tradisi Jawa, pusat kekuasaan identik dengan letak sang raja bertakhta. Para penguasa pada masa itu memiliki konsepsi bahwa di dalam keraton jangan sampai ada tiga raja,” Adrian menjelaskan.
Pemindahan pusat kekuasaan juga pernah diterapkan pemerintah kolonial atas prakarsa Jan Pieterzen Coen. Bedanya, upaya tersebut dilakukan semata-mata untuk mengeruk keuntungan. Daendels pernah melakukan hal serupa. Ia memindahkan pusat kekuasaan dari Batavia ke Weltevreden —sekarang kawasan Gambir dan sekitarnya— karena kondisinya yang kacau dan kumuh pasca kebangkrutan Veerenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Adrian mengatakan, pemerintah perlu mengkaji ulang atau minimal mempertimbangkan daerah lain di Jawa, seperti Surabaya, untuk menggantikan Jakarta. Alasannya, Kota Pahlawan ini sudah cukup mapan dari segi infrastruktur, perekonomian, maupun kondisi demografis. ”Surabaya ini, dari dulu pertumbuhannya pelan. Secara demografis, tertahan di angka 3,5 juta. Tapi tetap tumbuh secara ekonomi,” terangnya.
Ditinjau dari aspek historis, Surabaya merupakan salah satu kota yang pernah tercetus dalam benak Daendels untuk menggantikan Batavia. Kala itu, posisi Surabaya cukup strategis karena dua sungai besar yakni Kalimas dan Kali Pegirian bermuara di Surabaya. Bahkan, secara infrastruktur, Surabaya sudah memadai. Namun, karena hutang VOC yang semakin menumpuk, akhirnya Surabaya hanya dijadikan pusat militer.
”Walaupun Surabaya sempat kehilangan pamor sebagai calon ibu kota, tapi di akhir abad ke-19 justru menjadi kota terbesar di Hindia Belanda akibat kemajuan perdagangan dan perkebunan. Kala itu, Surabaya mengalahkan Singapura atau setara dengan Hongkong,” tuturnya.
Indikator lain yang membuat Surabaya layak dipertimbangkan adalah dari sisi geokultural. Masyarakat di sini memiliki spirit gotong royong dan terkenal akan sikap guyubnya, dalam hal toleransi beragama, etnisitas, maupun kebersamaannya. Saling melebur dalam kelompok masyarakat, namun tetap memegang teguh identitas masing-masing.
”Orang Surabaya itu kelihatannya cak-cuk-cak-cuk tapi tibak’e boloan. Saya pikir ini merupakan kekuatan yang suka nggak suka harus kita akui. Jawa Timur ini memang memiliki warisan atau kekuatan budaya tak benda,” katanya sembari berseloroh.
Kalimantan saat ini digadang-gadang akan menggantikan Jakarta. Namun, menurut Adrian, perlu diingat bahwa mayoritas lahan di sana adalah gambut. Karena itu, pemerintah juga harus mempertimbangkan dampak konstruksi terhadap kondisi ekologis.
Pembangunan kota di atas lahan gambut bukan yang kali pertama terjadi, karena Belanda pernah menerapkannya. ”Namanya kota Wageningen di Provinsi Gelderland. Oleh orang Belanda, kota ini dirancang banyak perkebunan. Tapi hanya dibangun dalam skala kecil. Di sekitarnya tidak ada kota-kota lagi. Ini untuk menjaga keseimbangan ekologis,” katanya.
Membangun ibukota di Kalimantan, menurut Adrian, banyak aspek lain yang harus dipertimbangkan pemerintah. Antara lain, pentingnya keterlibatan seluruh elemen masyarakat. Ada kabar penolakan Suku Dayak saat Palangkaraya dikemukakan sebagai kandidat ibu kota. Sebagai masyarakat adat, mereka khawatir pemindahan tersebut akan berdampak pada hilangnya identitas diri.
Maka, Pemerintah perlu melakukan pendekatan kepada masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Tidak boleh ada antagonisme di antara kedua pihak. Jangan sampai tujuan untuk meraih kemakmuran dalam pembangunan malah berakibat timbulnya disparitas sosial serta mengorbankan elemen-elemen lain di masyarakat.
”Elit-elit politik di Surabaya pada jaman dahulu seakan mempunyai tanggung jawab lebih untuk menjembatani pemikirannya dengan rakyat. Ini dapat menjadi salah satu refleksi bagi pemerintah. Keputusan pemindahan ibu kota bukan hanya harus dibahas presiden, menteri-menteri maupun mereka yang dianggap ahli, tetapi juga harus melibatkan rakyat,” kata Adrian. (*)