Oleh: Agus Hariono
MEPNews.id – Sistem proporsional terbuka atau suara terbanyak merupakan sistem yang digunakan dalam Pemilu Calon Legislatif mulai tingkat pusat hingga kabupaten/kota pada Pemilu 17 April 2019. Berdasar evaluasi penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem), biang carut marutnya penyelenggaraan Pemilu tahun 2014 adalah karena penggunaan sistem proporsional terbuka ini.
Berbeda dengan sistem proporsional tertutup, proporsional terbuka memungkinkan terjadinya saingan sengit antar calon. Tidak saja antarpartai, namun juga dalam satu partai. Mereka saling berkompetisi dengan kawan sendiri dalam satu partai untuk memperoleh suara maksimal dan teratas dibanding lainnya. Dalam proses kampanye saja, mereka saling berebut wilayah untuk meningkatkan dukungan suara, apalagi nanti pada saat pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara.
Fenomena persaingan calon dalam satu partai tidak terjadi pada sistem proporsional tertutup, di mana partai memiliki kuasa penuh terhadap penentuan nomor urut calon. Nomor urut calon yang paling atas memiliki kemungkinan besar untuk mendapat jatah pertama jika partai dapat memperoleh kursi dalam Pemilu sehingga antar calon dalam satu partai tidak perlu berebut, bersaing, dan bahkan saling mencurangi. Dalam proporsional terbuka, keterpilihan calon tidak lagi ditentukan oleh nomor urut melainkan suara calon yang paling banyak dibanding calon yang lain dalam satu partai.
Persaingan antarcalon sesungguhnya baik jika dilakukan dengan cara yang baik. Persaingan yang baik artinya masing-masing calon berusaha memperoleh suara tertinggi yang berdampak pada peningkatan suara partai tanpa saling mencurangi. Sekali lagi, kondisi ini tidak dijumpai dalam proporsional tertutup, di mana partai akan lebih mengandalkan mesin partai dan para calon yang berada di urutan teratas. Sebab, calon lain yang berada di urutan bawah tentu akan merasa pesimis sejak awal, karena mereka akan sulit mendapat kursi jika suara mereka tidak bisa memenuhi harga kursi (bilangan pembagi pemilih) dan justru suaranya akan diberikan kepada calon nomor urut teratas.
Evaluasi Pemilu 2014 yang dilakukan Perludem telah merekam beberapa modus kecurangan yang dilakukan para calon, yang sesungguhnya ini adalah pesoalan klasik dalam Pemilu. Modus kecurangan tersebut antara lain, jual beli suara. Modus ini cukup beragam tergantung tingkatan penyelenggara. Titik rawan berada saat rekapitulasi dari C plano ke C1 berhologram.
Umumnya rekapitulasi dilakukan pada malam hari setelah penghitungan suara plano usai. Setelah itu petugas KPPS harus menyalin dari C plano ke C1 berhologram. Proses ini dilakukan satu demi satu dengan tulisan tangan asli sejumlah 18 rangkap. Satu untuk KPPS, satu untuk Pengawas TPS dan 14 untuk partai politik. Karena proses penyalinan dilakukan secara manual, tentu membutuhkan waktu sangat lama, bahkan bisa jadi hingga esok harinya.
Dan saat rekapitulasi inilah sesungguhnya momentum paling rawan dalam mengawal Pemilu. Umumnya pengawasan sudah mulai lengah. Petugas sudah capek, begitu juga dengan pengawas maupun saksi. Ditambah lagi, proses rekapituasi merupakan suatu aktivitas yang kurang menarik bagi mansyarakat, apalagi dilakukan malam hari hingga dini hari.
Bagi para pelaku kecurangan, momentum ini adalah waktu yang tepat untuk beraksi. Modus yang biasa dilakukan adalah dengan cara menambah satu angka pada kolom ratusan C1 hologram. Sebagimana dimuat dalam http://bantenraya.com, modus ini terjadi di Provinsi Banten pada Pemilu 2014, yang melibatkan petugas KPPS dan PPS setempat. Modus yang dilakukan adalah dengan cara mengubah perolehan suara caleg tertentu di form C1 yang akan diisi. Misalnya, suara salah satu caleg yang bersangkutan 0, kemudian ditambah dengan angka 1 di depannya, sehingga dia mendapat suara 10.
Kedua, modus menyatakan salah dalam menjumlahkan hasil Pemilu partai politik dengan suara caleg. Modus ini memang tidak mengambil suara dalam jumlah yang banyak, mungkin hanya puluhan. Namun, yang diambil pengalinya. Misal, kesengajaan salah dalam menjumlah hanya menghasilkan 3 suara, tetapi dikalikan 100 TPS maka hasilnya akan signifikan, yaitu akan menjadi 300 suara.
Sebagaimana diberitakan dalam www.tribunnews.com, kasus ini juga terjadi antar caleg dalam satu partai di TPS 5 kelurahan Batu Kota, Kota Manado. Caleg atas nama Paula Singal nomor urut 2 dan caleg atas nama Luky Korah nomor urut 3 setelah direkap di PPS suara mereka berkurang. Sementara suara nomor urut 5 justru melonjak di tingkat PPS, padahal dalam penghitungan di tingkat TPS 5 dia tidak mendapat suara, namun setelah dihitung di PPS suaranya menjadi 19.
Kecurangan yang demikian itu sangat mungkin terjadi di tingkat PPK hingga jenjang yang lebih tinggi. Namun, yang terpenting adalah mudus-modus itu muncul karena penggunaan sistem proporsional terbuka yang sangat membuka ruang kompetisi antar caleg dalam satu partai. Meskipun sesungguhnya sistem proporsional terbuka bertujuan untuk meningkatkan jumlah suara partai.
Cukup disayangkan jika kemudian ternyata kompetisi dalam sistem proporsional terbuka justru terjadi di internal partai. Harusnya masing-masing calon sama-sama berusaha menaikkan suara partai, tetapi justru yang terjadi adalah saling curi dan mengalihkan suara mereka. Akibatnya yang terjadi bukan menaikkan suara partai, tetapi malah jual beli suara untuk menentukan keterpilihan. Kondisi ini menggambarkan, mengapa justru dalam sistem proporsional terbuka terjadi jual beli suara secara massif.
- Agus Hariono adalah Koordinator Daerah Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Kabupaten Kediri