Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id-Hingga detik ini, bab kesabaran merupakan mata pelajaran kehidupan yang selalu saya gagal menerapkan dan menjalaninya. Jika saya melihat ke diri saya, hampir-hampir tidak saya temukan satu unsur kesabaran pun. Sehingga terhadap orang lain yang mampu bersabar, saya selalu terkagum-kagumnya lahir batin. Bukan main hebatnya para pelaku kesabaran itu. Bergurunya ke mana kok bisa sesabar itu?
Saya tidak peduli dengan teori bahwa sabar bisa beda tipis dengan pembiaran. Bisa jadi seseorang membiarkan kesalahan mungkin karena takut atau tak mengerti sehingga dibiarkan begitu saja tapi terpotret betapa dia sangat sabar. Padahal dia sedang membiarkan. Pokoknya entah pembiaran, entah acting pura-pura sabar, atau apapun itu, asal dimata saya kelihatan sabar, saya langsung takjub dan kagum karena sungguh pun hanya berpura-pura sabar, saya tidak bisa.
Langsung mudah takjub dan kagumnya saya ini sudah sangat jelas merupakan pertanda yang nyata bahwa saya bukan tipe penyabar. Saya selalu terburu-buru dan grusa-grusu. Apalagi jika saya digoda dengan kalimat: “Orang yang belum sabar pertanda ekonominya belum mapan. Pekerjaan nggak jelas. Lihatlah mereka yang mapan. Mereka sabar-sabar saja meskipun dihina dan dipermalukan kayak apapun…”
Untunglah kalimat itu kalimat karangan saya sendiri. Hampir saja saya naik pitam, tapi tidak jadi. Lebih beruntung lagi, manusia ini oleh Tuhan dibekali hati. Sehingga kalau ia marah-marah dan misuhi orang sekacau, sekasar atau seburuk apapun kata-kata pisuhan itu, asalkan hanya diteriakkan sekeras-kerasnya di hatinya saja, maka amanlah ia. Para penguasa tak akan mendengarnya, sehingga bisa dipastikan aman dari pemecatan.
Saya sedang membayangkan andai para pencaci maki di medsos itu berhijrah marah-marah di hatinya masing-masing. Pasti aman. Tak kena UU ITE. Tak kena kecaman tetangga. Nggak ruwet. Bahasa warung kopinya: “Kalau Ente mau marah-marah, misuh-misuh tapi dalam hati saja, sak karepmu wes. Bebas pol terserah Ente. Tapi kalau di medsos atau di telinga tetangga, persoalannya menjadi lain. Salah-salah Ente bisa tambah pusing gak bisa membedakan kopi tanpa gula, hehehe…”
Dan lagi-lagi seorang penikmat kopi hitam berfatwa: “Marilah kita bersabar. Sebentar lagi Pemilu. 17 April sudah nggak lama. Jangan sampai ada yang tidak sabar. Sudahlah. Sabar saja. Banyak hal yang perlu kita syukuri daripada marah-marah dan tidak sabar. Banyak kenikmatan yang lebih nikmat daripada ngurusi rame-ramenya pertengkaran dan permusuhan. Sabar. Sabar itu sangat mengagumkan. Bergurulah kepada aliran darahmu yang senantiasa mengalir sabar meskipun dirimu terkadang angkuh dan kumuh…”
So, beginilah nasib saya yang terkatung-katung belum bisa menggapai pintu kesabaran hingga saat ini. Menggapai pintunya saja belum, apalagi memasuki betapa anggun dan damainya rumah kesabaran. Sehingga kepada kesabaran, kagum dan mendambanya nggak main-main, fi kulli yaumin wa lailatin. Tak peduli siang, tak peduli malam saya selalu mengemis-ngemis: i love you kesabaran.
(Banyuwangi, 29 Maret 2019)