Yafqohu Qouli

Oleh: Moh. Husen

MEPNews.id – Sebut saja namanya Anonim. Pasti nama samaran. Si Anonim ini, saya titeni, setiap sebelum memimpin sebuah rapat atau menyampaikan sebuah materi dan berlanjut diskusi, selalu saja setelah ber-assalamulaikum dilanjutkan dengan, “Bismillahirrahmanirrahim. Robbissyrohli shodri, wayassirli amri, wahlul uqdatan millisani yafqohu qouli. Amma ba’du. Yang saya hormati…bla…bla…bla…”

Itu doanya Nabi Musa tatkala disuruh oleh Allah menasehati Firaun yang telah melampaui batas. Memohon agar dilapangkan dada. Dimudahkan urusannya. Dan memohon kepada Allah agar dibuka kebekuan lisannya agar siapa saja memahami apa yang ia ucapkan. Konon, Nabi Musa ini cedal, sehingga memohon agar dibuka ikatan beku yang membelilit lisannya. Tentu saja doa ini bukan hanya soal cedal atau tidak. Orang yang tidak cedal saja kata-katanya terkadang sulit untuk difahami dan tak satu kata pun mampu menjadi ilmu yang masuk ke telinga para audiens.

Akhir-akhir ini saya jadi tertegun dengan pembukaan yang sering diucapkan si Anonim ini. “Iya ya,” saya bergumam sambil ngopi, “Selama ini adakah diantara kita yang ingin bahwa apa yang telah kita omongkan bisa difahami orang? Seberapa besar kita berfikir menata omongan agar omongan kita difahami orang? Seberapa besar kita belajar merasakan bahwa kata-kata kita ini telah dimengerti orang atau belum? Juga seberapa besar kita merintih kepada Allah, memohon kepadaNya agar kata-kata kita dimengerti orang? Atau kita acuh saja dengan semua itu, kita anggap kita pasti pandai, tak bisa salah, ucapan pasti benar, kalau ada yang tak faham pasti audiensnya yang kurang cerdas?”

Tiap Si Anonim membawakan doa Nabi Musa ini, fokus perhatian saya selalu dan selalu tertuju ke wahlul uqdatan millisani yafqohu qouli. Meskipun menjadi pribadi yang mampu berlapang dada itu sangatlah penting. Apalagi menjelang Pemilu 2019 yang hampir tiba ini. Sikap lapang dada menghadapi kenyataan kalah menang sangat penting. Baik pendukungnya. Terlebih lagi buat mereka-mereka yang mencalonkan diri untuk dipilih rakyat, yang kelak dititipi menjaga dan melindungi negeri ini.

Memang disetiap mau bicara, tak harus juga kita membaca doa Nabi Musa itu. Tapi berharap apa yang yang kita omongkan itu difahami orang, dan tak jadi bias yang mengarah disalahpahami orang, adalah sangat penting. Dari omongan yang tak hati-hati, resikonya bisa fatal. Itu sekedar omongan yang tak hati-hati. Belum lagi ke sikap dan perilaku yang tak hati-hati, yang tak memohon perlindungan Tuhan.

Terkadang orang bisa salah faham, menghujat, memfitnah, bahkan hingga membodoh-bodohkan dan segala macam kepada kita, bisa jadi penyebabnya adalah ucapan dan perilaku diri kita sendiri yang tak hati-hati serta tidak punya kepekaan untuk cenderung berhati-hati. Apalagi jika kebetulan kita ini “orang biasa”, siapakah yang akan bersusah-susah tabayyun atau cross cek kepada kita mengenai ucapan atau perilaku kita yang memang rawan untuk diplintir dan difitnah, sehingga “nama baik” kita tetiba hilang berganti kebencian diam-diam.

Kali ini saya berguru kepada Si Anonim mengenai bab yafqohu qouli. Besok mungkin ke Si Pantomim. Lantas ke im siapa lagi ya? Karena bukan hanya ucapan saja yang perlu difahami. Tetapi cinta dan ketulusan hati, sangat perlu juga untuk difahami.

(Banyuwangi, 22 Maret 2019)

 

 

Facebook Comments

Comments are closed.