Perjanjian Pisah Harta, Perlukah?

mepnews.id – Perjanjian pisah harta (prenuptial agreement) tentu perlu dan penting dalam dunia pernikahan. Bagi pasangan yang akan atau telah menikah, perjanjian ini bisa melindungi aset dari masalah hukum.

Prof Agus Yudha Hernoko, dosen Unair. 

Prof Dr Agus Yudha Hernoko SH MH, pakar hukum dari Universitas Airlangga (Unair), berpendapat, “Perjanjian ini memisahkan harta yang diperoleh masing-masing pasangan, sebelum maupun selama perkawinan. Ini bertujuan agar tanggung jawab hukum hanya berimplikasi pada harta milik individu.”

Sumber harta benda dalam prenuptial agreement ini yang diperoleh sebelum perkawinan, warisan, hadiah, hibah, dan selama perkawinan. “Bila terjadi tindak pidana, maka harta benda yang diperoleh suami dari hasil tindak pidana yang dapat disita. Harta benda yang diperoleh istri secara sah, tidak dapat dilakukan penyitaan,” ujarnya.

Merujuk pada Undang-Undang KUHAP, penyitaan merupakan tindakan pengamanan barang bukti oleh penyidik. Dalam perkara perdata, penyitaan dilakukan untuk menjaga harta tergugat agar tidak hilang selama sidang. Dalam konteks penyitaan aset, menurut Prof Yudha, hanya harta pribadi yang dapat disita kecuali kasus sita revindikasi. Dalam hukum pidana, objek yang dapat disita harus sesuai Pasal 39 ayat (1) KUHAP.

Prof. Yudha menegaskan, perjanjian perkawinan memiliki konsekuensi hukum signifikan terhadap status harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Dalam hukum pidana, ia mengungkapkan bahwa terdapat upaya hukum bagi pihak ketiga yang dirugikan untuk mengajukan keberatan.

“Harta yang diperoleh selama perkawinan adalah milik pribadi. Jika harta istri disita karena gugatan terhadap suami, maka istri dapat mengajukan derden verzet atau perlawanan pihak ketiga yang dirugikan terhadap putusan penyitaan aset untuk membatalkan sita tersebut,” terangnya.

Syarat Perjanjian Pisah harta

Agar suatu perjanjian pernikahan sah dan mengikat, Prof Yudha mengungkapkan terdapat beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi. Ia merujuk pada ketentuan Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo dan Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015.

Prof Yudha menyarankan untuk memperhatikan dua surat penting. Pertama, Surat Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri RI No.472.2/5876/DUKCAPIL, yang mengatur proses pembuatan perjanjian perkawinan. Kedua, Surat Edaran Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI No. B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017, yang memberikan panduan lebih lanjut mengenai proses dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan perjanjian perkawinan.

Untuk membuat perjanjian perkawinan yang sah, Prof Yudha menyebutkan beberapa hal yang harus terpenuhi. Pertama, pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan publisitas legal. Kedua, dokumentasi yang memperkuat perjanjian.

Jika tidak disahkan sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU 1 Tahun 1974 Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015, menurutnya, perjanjian tidak dapat mengikat pihak ketiga. Selain itu, jika tidak ada perjanjian, harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama sesuai Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974. (Aidatul Fitriyah)

Facebook Comments

POST A COMMENT.