Oleh: Moh. Husen
mepnews.id--Beberapa minggu sebelum memasuki bulan Ramadhan, saya browsing di internet seputar diet dan kesehatan. Saya berjumpa dengan berbagai macam uraian betapa sehatnya jika tubuh ini dilaparkan atau dipuasakan.
Ada wacana yang membeberkan bahwa tubuh kita ini sebenarnya sudah tidak asing lagi dengan metode yang bernama puasa. Misalnya, tatkala kita tidur 8 jam berarti tubuh kita sedang puasa tidak makan tidak minum selama 8 jam.
Kalau ketahanan atau kesehatan tubuh kita ingin semakin meningkat, menurut paparan teori yang saya baca itu, hendaknya secara bertahap jam puasanya kita ditambah. Yang semula berpuasa hanya 8 jam, ditambah lagi 4 jam, sehingga menjadi 12 jam berpuasa.
Sederhananya, selesai makan jam 8 malam kemudian makan lagi jam 8 pagi, artinya kita sudah sukses puasa 12 jam. Kalau 3 sampai 4 hari sudah dirasa terbiasa atau beradaptasi, bisa ditingkatkan menjadi jam 8 malam terakhir makan, langsung tancap makan berikutnya pada jam 12 siang, maka tubuh kita terhitung berpuasa 17 jam.
Itu teori diet. Bukan metode puasa secara fiqih seperti bulan Ramadhan. Kalau puasa Ramadhan, Islam bikin aturan: waktu puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Kalau teori diet yang saya baca itu, meskipun tubuh kita, kita laparkan atau kita puasakan hingga 17 jam, kita masih diperbolehkan minum air putih atau kopi pahit. Pokoknya stop kalori.
Teori diet ini disebut intermittent fasting. Hasilnya lumayan, tubuh saya yang nggak karu-karuan beratnya ini, mulai terlihat turun meskipun masih sedikit. Saya berpapasan dengan kajian ilmiah mengenai apa yang terjadi pada tubuh kita saat puasa atau sengaja dibikin lapar dalam 8 jam, 12, jam, 16 jam, 20 jam bahkan 24 jam.
Sungguh sangat menyehatkan. Bahkan beberapa penyakit kronis, bisa sembuh dengan teori puasa yang dikerjakan secara bertahap. Dalam sebuah buku yang pernah saya baca, bila kita sakit lantas muntah, bisa jadi itulah indikator atau alarm bahwa tubuh kita perlu puasa atau beristirahat dari makan beberapa waktu secara bertahap.
Puasa jelas tidak enak. Seperti jamu, tidak enak. Harus kita akui, lapar tidak enak itu normal. Apalagi bagi kita yang lagi susah-susahnya mencari seporsi dua porsi makan minum sehari-hari. Akan tetapi, “puasa itu lebih baik, jika kamu mengetahui,” kata Allah.
Maka dari sini lah kita perlu menggali puasa. Silakan digali dari berbagai sisi. Tidak cuma dari sisi kesehatan. Ntar bisa-bisa dikiranya bagi yang sehat tak perlu lagi berpuasa. Namun, sisi kesehatan dalam berpuasa jangan ditinggalkan. Dengan kata lain, jangan hanya melihat satu sisi pahala puasa belaka.
Pantas Nabi Muhammad SAW menyampaikan, barang siapa bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, diharamkan jasadnya disentuh api neraka. Bukan asal bergembira karena takut neraka, melainkan bergembira karena menggali puasa yang “rasanya” tidak enak itu.
Selamat berpuasa dan menggalinya, meskipun puasa Ramadhan 2022 kali ini kita diganggu dengan naiknya harga minyak goreng dan bensin Pertamax.
(Banyuwangi, 3 April 2022)