Menuntut Ilmu di Rumah Serangga

Oleh: Endang Sri Wahyuni

mepnews.id – Rumah serangga? Wow…!

Terbayang sudut ruang yang penuh sawang, atau lorong-lorong kecil di dalam tanah lembab, atau lipatan kain usang yang sangat bau, atau selokan basah berbau gas methan. Bisa juga terbayang rumah suwung (sepi, sunyi, hampa, singup) yang kotor, kumuh, gelap, pengap, dan jarang dijamah manusia.

Tapi, Rumah Serangga di Kalibaru ini sama sekali tidak begitu. Justru wujudnya tempat yang nyaman, indah, unik, menarik, dengan banyak sarana edukasi. Masih banyak hal menarik bagi wisatawan domestik maupun pelancong untuk ‘menuntut ilmu’ di rumah ini.

Wow… keren. Benar keren!

Rumah Serangga merupakan salah satu obyek wisata di Kabupaten Banyuwangi. Bahkan, satu-satunya wisata edukasi spesies serangga di tanah Blambangan.

Bila kita melintasi jalan utama Banyuwangi menuju Jember dari arah timur, setelah Glenmore namun sebelum lereng Gunung Gumitir, di situ Rumah Serangga eksis. Tepatnya, di Dusun Krajan, Desa Kalibaru Kulon, Kecamatan Kalibaru.

Cukup strategis tempatnya. Di sebelah kanan, ada RTH Kecamatan Kalibaru dengan ikonnya kopi. Di sebelah kiri, Puskesmas Kalibaru. Di seberang jalan, terdapat Kantor Polsek Kalibaru dan gedung SMP Negeri 1 Kalibaru. Di kawasan ini, lalu lintas tidak pernah putus. Kendaraan kecil maupun besar, dari sepeda engkol hingga tronton, melintas di kawasan ini.

Rumah Serangga diresmikan Bupati Ipuk Festiandani Azwar Anas pada Minggu 6 Juni 2021. Ini hari bersejarah untuk Kalibaru sebagai kawasan wisata edukasi.

Rumah Serangga ini dikenal dengan sebutan George Java Insect. Sebutan ini identik dengan inisiator dan pendirinya, yakni George Oktavianus Mambo. Ide cemerlang George sangat menginspirasi kaum cendekia, khususnya pemerhati bidang ilmu pengetahuan alam atau biologi.

Yuk, kita tengok lebih dekat Rumah Serangga ini.

Berfoto bersama Nigidius georgei ikon Rumah Serangga.

Di luar, ada ikon Rumah Serangga. Ikon ini berupa spesies serangga yang pertama kali diidentifikasi George Oktavianus Mambo. Serangga ini dinamai Nigidius georgei, diambil dari nama penemunya. Secara taksonomi, serangga ini dari kingdom animalia, filum arthopoda, kelas insecta, ordo coleoptera, famili scarabaeidae, dan genus nigidius. Sejenis kumbang badak ini umumnya hidup di Kalimantan.

Ikon ini tampak menempel pada bebatuan kokoh yang melambangkan kekokohan rumah wisata yang siap melayani para cendekia atau calon cendekia yang berkunjung ke sana. Batu kokoh ini berdiri di tengah taman mungil dan asri yang membuat orang ingin menengok ke dalamnya.

Sebelah selatan taman terdapat rumah berhias dedaunan menjuntai di sepanjang teras. Terdapat tulisan ‘Rumah Serangga’ berwarna orange dan merah dengan logo seranggga. Di samping kiri terdapat profil Goerge Sang Petualang Insekta. Kukatakan petualang karena Pak George berpose memegang stik gelagah perjalanan yang mengantarnya berkeliling Indonesia untuk menemukan varian serangga yang dijadikan koleksi di Rumah Serangga.

Tulisan orange ‘Rumah Serangga’ mengantar kita masuk ruang resepsionis. Ejaan resepsionis memberi sinyal kepada pengunjung untuk mengisi buku tamu sebagai pertanda kehadiran kita di sini. Tiketnya tidak terlalu mahal. Cukup Rp 10.000 per orang. Ya, sepuluh ribu rupiah untuk sepuasnya melihat dan mencermati spesies di rumah wisata ini. Jika pengunjung pelajar dari lembaga pendidikan, tiketnya hanya Rp 5.000.

Yuk, kita langkahkan kaki masuk ke ruang utama. Monumen peresmian Rumah Serangga segera menyapa. Monumen ini petunjuk bahwa Rumah Serangga menjadi salah satu destinasi wisata edukatif di Kabupaten Banyuwangi. Di sini kita bisa temukan mozaik kupu-kupu dan serangga lain yang diatur sedemikian rupa menjadi kupu-kupu besar dan kumbang besar.

Sebelah barat ruang utama terdapat koleksi kupu-kupu yang diawetkan. Koleksi spesies kupu-kupu ini sangat menarik untuk dicermati. Macam jenis kupu-kupu dan asal daerahnya membuat kita memiliki khasanah baru tentang kupu-kupu Nusantara.

Koleksi kupu-kupu yang dipajang di dinding maupun di dalam kotak kaca.

Setelah mengamati koleksi kupu-kupu, kita masuk ruang ketiga. Ini adalah ruang belalang dan capung. Salah satu spesies belalang Neurobasis longipes dari Indonesia mewarnai ruangan itu. Ada juga antara lain Megascolia procer, Eupholus shoenherril, Batocera celebiana, dan masih banyak lagi. Penataan yang rapi, indah, dan cantik membikin kita semakin terpesona dengan keagungan Allah Ta’ala.

Belok ke kiri ruangan itu, ada rangkaian klasifikasi ilmiah hewan-hewan yang dipajang di pigora ruang-ruang Rumah Serangga. Salah satu yang menarik di ruang itu adalah spesies Nigidius georgei. Di tengah ruangan terdapat miniatur hutan yang berisi kumbang dan tanaman hijau.

Spesies Nigidius georgei mendorong saya berdialog dengan Mbak Yeti guide Rumah Serangga. Saya mendapatkan banyak pengetahuan, termasuk asal-usul rumah ini dan bagaimana mengelolanya secara finansial.

“Awalnya, hanya hobi mencari serangga. Kemudian, tertarik dengan yang dilakukan guru SD-nya. Akhirnya Pak Goerge tidak pernah berhenti mencari serangga, mengoleksi, dan merawatnya. Berlanjut, mengumpulkan serangga dari beberapa daerah. Dia ingin memiliki rumah untuk hasil koleksinya. Berkat ketekunannya, Pak George menjadi kolektor kelas hits. Hobi berujung kolektor hingga menjadi eksportir,” kata Yeti.

Sebagian serangga tangkapan diekspor dalam kondisi masih hidup atau sudah diawetkan. Ekspornya ke Jepang, Taiwan, sampai Eropa.

Pengawetan dilakukan bukan dengan membunuh tetapi mengikuti siklus hidup binatang. Serangga bertahan hidup paling lama 4 bulan. Bahkan, kupu-kupu paling lama hidup hanya 2 bulan. Dalam waktu ‘sependek’ itu, serangga segera mati.

Pengawetan dilakukan dengan cara dioven dalam suhu cukup panas. Pemanasan tidak menggunakan cahaya matahari untuk menghindari perubahan warna pada spesies. Oven dilakukan selama 3 x 24 jam. Waktu yang cukup untuk melajutkan proses menuju pengemasan menjadi souvenir maupun hiasan dinding.

Bagaimana dengan pengiriman dalam kondisi hidup? Selama pengiriman, suhu ruang harus dingin. Maka, saat pengiriman, es batu harus digunakan sebagai pengatur stabilitas suhu ruang.

Kata Yeti, “Menurut Pak George, orang Jepang belum dikatakan kaya kalau belum memiliki koleksi serangga. Tak heran Jepang menjadi negara terbesar pengimpor serangga dari Pak George.”

Ini semua merupakan nilai tambah secara ekonomi dari bidang usaha destinasi wisata edukasi. Lantas, bagaimana dengan dunia pendidikan?

Terhentilah dialogku.

Aku tertarik menuju ruang belakang. Di situ, ada beberapa spesies kumbang hidup yang dipelihara di kotak kaca beratap kasa. Tidak semua kumbang diperlakukan sama, bergantung jenisnya.

Keluar ruangan ini, ke arah barat, ada ruang terbuka. Di ruang terbuka ini terdapat bermacam-macam belalang hidup. Antara lain belalang sembah, belalang papua, dan belalang daun. Belalang daun di Rumah Serangga ini beda lho dengan belalang daun kebanyakan. Di situ aku terjebak memegang daun jambu, yang ternyata justru belalangnya. Kaget? Ya. Tapi, tidak perlu takut. Mereka sangat kooperatif dengan kita sebagai pengunjung.

Ada juga ruang untuk berdiskusi atau sekadar ngobrol sambil ngemil agar tidak lapar.

Belok kiri dari ruang terbuka itu, ada moshola. Bila di antara waktu kunjungan di sana sampai masuk waktu shalat, bagi muslim dapat memanfaatkan mushola mungil itu. Nah, bagi yang ingin ngopi, ada juga angkringan atau cafe. Settingan cafe yang sejuk membuat kita makin betah untuk bertahan di Rumah Serangga.

Bagi pengunjung yang menginginkan souvenir sebagai kenangan, disediakan gantungan kunci, cangkir, pin, kaos, dan cindera mata lain yang berinitial Rumah Serangga. Paket makanan ringan dan makanan berat juga ada. Kita tidak perlu keluar lokasi untuk mencari kebutuhan pemenuh dahaga. Fasilitas meja kursi juga dapat digunakan untuk pertemuan komunitas atau organisasi. Nyaman untuk berdiskusi. Bagi yang berbakat jadi vokalis, bisa juga menghibur para pengunjung.

Sesampai di kafe, kulanjutkan bincangku tentang Rumah Serangga untuk dunia pendidikan.

Menurut Mbak Yeti sang guide, selama ini pengunjung pelajar belum optimal. Yang lumayan banyak pengunjung umum, dari instansi tertentu, dan TK. Untuk tingkat SD, SMP, atau SMA, tampaknya pengunjung perlu dimotivasi internal maupun eksternal.

“Langkah terefektif adalah terobosan melalui promosi. Promosi sudah dilakukan melalui media sosial, media elektronik, dan menjalin kemitraan dengan instansi pemerintahan. Selanjutnya, ditempuh dengan instansi pendidikan. Semoga Rumah Serangga Kalibaru makin bermanfaat untuk mewarnai mozaik wisata edukasi di Banyuwangi,” kata Mbak Yeti.

X-banner menjelang akhir kunjungan.

Menuju pintu keluar, lambaian X-banner memotivasi kita bercengkrama bersama tim untuk meninggalkan kesan akhir di Rumah Serangga di Kalibaru.

 

  • Penulis adalah pendidik  di SD Negeri 4 Kalibaru Wetan, Banyuwangi.

Facebook Comments

Comments are closed.