Oleh: Yessy Ariana
mepnews.id – Hidup dengan remaja berusia 13-16 tahun, bagi saya, adalah seperti tantangan di depan cermin. Seperti menghadapi diri sendiri di usia yang sama. Saya menikmati berselancar dengan kedua putri saya di masa ini dengan harapan bisa mengantar mereka jadi bagian dari Generasi Emas 2045.
Dalam teori psikologi perkembangan, Santrock (2003) menyebut usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Usia 12-21 tahun bagi perempuan dan 13-22 tahun bagi laki-laki.
Masa remaja, menurut pengamatan para ahli sebelumnya, relatif sama yakni masa yang dengan permasalahan. Di awal abad 20, bapak psikologi remaja Stanley Hall menyebut masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (Storm and Stress). Ini transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan secara fisik, psikis dan psikososial.
Dalam tugas perkembangan ini, saya mulai memperkenalkan konsep-konsep dasar awal kemandirian untuk kedua putri saya. Kemandirian terutama pada masa-masa pubertas dan konsep penyesuaian sosial. Di masa pandemi, Maret 2020 sampai saat saya menulis artikel ini, saya merasa mendapatkan banyak keuntungan. Dengan mudah, saya membuat anak-anak memasuki masa remaja awal di rumah. Saya bisa meminimalisir intervensi fisik dari luar untuk mengambil waktu mereka dari kehidupan saya.
So far, ini hanya sebagian kecil rasa ‘hore’ yang bisa saya nikmati dalam kondisi stay at home dan school from home. Selebihnya, sistem pengasuhan dan perlakuan orang tua bakal menentukan apakah remaja dapat merasa nyaman di rumah atau tidak, mau menggunakan masker atau tidak, mau mencuci tangan setelah aktivitas di luar rumah atau tidak, ingat menjaga jarak atau tidak, bertahan di rumah atau merengek minta jalan-jalan ke luar. Jadi, kembali ke bagaimana keluarga membuat suasana rumah menjadi terasa aman dan nyaman bagi seluruh anggota keluarga. Setuju atau tidak, kondisi ini ‘memaksa’ kita semua bertahan tanpa banyak pilihan.
Keuntungan mengasuh remaja yang saya maksudkan di sini adalah saya bisa membuka pola-pola luar yang mungkin saja nantinya mereka temui dan sama sekali berbeda dengan yang sudah mereka dapatkan di rumah. Apa saja itu?
- Menerima pendapat berbeda orang lain
Suatu saat akan ada perbedaan pandangan meskipun itu dari sahabat yang sangat dikenal sebelumnya. Saya katakan pada anak-anak saya bahwa itu hal yang wajar. “Karena kamu dan dia sedang melihat dari sudut pandang yang berbeda. Terima saja perbedaan pendapat itu. Jika baik dan sesuai dengan konsep diri yang positif, anggukkan kepala sebagai tanda persetujuanmu. Jika tidak, cukup diam saja.”
- Kesadaran dan tanggung jawab
Saya juga katakan pada anak-anak, “Dalam rangkaian perjalanan hidup, jika sesuatu terjadi dari apa yang sudah kamu lakukan, dan itu membuat keadaan sedikit di luar rencana, maka mulailah untuk meneliti kembali dan menelusuri langkah-langkah yang pernah kalian lakukan. Temukan bagian mana yang menjadikan ‘kekacauan’ itu. Maka, jika keadaannya cukup bagimu untuk bersikap tenang, mulai pikirkan solusi. Bukan malah gaduh. Bukan malah bingung meminta bantuan orang lain yang belum tentu memahami situasi. Bukan diam saja. Of course, do something and finish it dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Biarkan orang lain menilai segala tindakanmu dengan persepsi mereka masing-masing. Acuhkan saja penilaian yang negatif. Sadari bahwa tidak semua penonton itu ‘dewasa’.”
- Peduli
Orang yang kuat itu bukan diukur dari seberapa besar tubuhnya, bukan seberapa tinggi nilai akademisnya di sekolah, bukan seberapa cepat raihan suksesnya, bukan seberapa hebat menyelesaikan sesuatu seorang diri. Tetapi, seseorang disebut kuat bila dia peduli pada orang-orang di sekitarnya.
Saya tekankan pada anak-anak, “Dunia ini terlalu besar untuk bisa kamu kalahkan seorang diri. Kamu perlu membangun komunitas yang dapat menguatkan satu sama lain, yang mampu mendukung pada saat-saat terlemah masing-masing anggotanya, yang saling menopang dalam kesengsaraan bersama, yang bisa menari bersama saat kemenangan datang. Maka latihlah dirimu untuk peduli, saling membantu sesama. Termasuk berlatih merendahkan hati saat kamu harus berganti posisi menerima bantuan ketika ditawarkan, karena saat itu kamu tahu tidak bisa melakukannya sendiri, saat kamu sudah merasa ‘I don’t know what can I do, I’m stuck, I’m scared, I don’t think I can do this.”
- Belajar menjadi pendengar
Pernah mendengar nama Nelson Mandela? Beliau adalah pemimpin hebat untuk dunia dalam melawan apartheid. Dia putra kepala suku, pernah dipenjara oleh pemerintah karena perjuangannya, tapi akhirnya dia jadi Presiden Afrika Selatan. Suatu hari dia ditanya, ”Bagaimana Anda belajar menjadi pemimpin hebat?” Dia menjawab dengan berkisah. Suatu hari, saat pergi bersama ayahnya ke pertemuan suku, dia ingat dua hal ketika ayahnya bertemu dengan sesepuh lainnya. Satu: mereka selalu duduk melingkar. Dua: ayahnya selalu menjadi yang terakhir berbicara.
Dari sini, saya mengajarkan pada anak-anak bagaimana kekuatan mendengar bisa menjadikan diri mereka lebih kaya hati, lebih bisa menerima perasaan orang lain, lebih bisa bijaksana dan memberikan ruang bagi yang ingin didengarkan. “Buat agar mereka berharga saat berbicara denganmu. Simpan dulu pendapatmu jika tidak memungkinkan untuk diterima. Lebih baik mendengarkan dan diam. Ajukan pertanyaan bila ada yang tidak kamu pahami dari pendapat mereka. Ketahui lebih banyak tentang mengapa mereka memiliki pendapat tersebut, supaya kamu tahu dari mana sumbernya. Berlatihlah untuk bicara paling akhir.”
- Rendah hati dan bersyukur
Simon Sinek, penulis dan motivator handal, mengisahkan cerita nyata tentang cangkir keramik cantik dan gelas sekali pakai (styrofoam). Cerita itu dari seorang mantan wakil Menteri Pertahanan sebuah negara. Saat berpidato di atas panggung, sang mantan itu berdiri dengan kopi dalam cangkir styrofoam. Dia menghirup kopinya, lalu tersenyum dan berkata,”Tahu nggak; tahun lalu aku berbicara di konferensi yang sama seperti ini. Kala itu aku masih menjadi wakil menteri. Mereka menerbangkan aku dengan kelas eksekutif. Mendarat di bandara, ada orang yang menjemput untuk mengantarkanku ke hotel. Tiba di hotel, mereka sudah menyiapkan dan langsung mengantarkanku ke kamar. Keesokan paginya, aku turun ke lantai bawah. Sudah ada seseorang menunggu di lobi menyambutku. Mereka mengantarku ke tempat yang sama di sini, dan menyuguhiku kopi dalam cangkir keramik indah. Sekarang, aku bukan lagi wakil menteri. Aku terbang ke sini sebagai mentor. Aku sendirian naik taksi ke hotel dan check in sendiri. Saat turun ke lobi pagi tadi, aku naik taksi lain untuk bisa ke tempat ini. Saat aku tanya pada seseorang ‘Apakah ada kopi?’ dia menunjuk ke mesin di sudut. Dari mesin itu, aku menuangkan kopi sendiri ke dalam gelas styrofoam ini.”
Dia melanjutkan, “Pelajaran yang ditarik adalah; cangkir keramik tidak pernah ditujukan untuk saya. Itu ditujukan pada posisi yang saya pegang. Saya pribadi pantasnya hanya mendapatkan cangkir styrofoam. Ingat! Saat kamu mendapat ketenaran, saat kamu mendapatkan keberuntungan, saat kamu mendapatkan posisi dan senioritas, orang akan memperlakukanmu lebih baik. Mereka membukakan pintu untukmu. Mereka memberimu secangkir teh atau kopi tanpa kamu memintanya. Tapi, tidak satu pun dari hal itu dimaksudkan untukmu. Hal itu dimaksudkan untuk posisi yang kamu pegang. Itu dimaksudkan untuk level yang telah kamu capai sebagai pemimpin atau kesuksesanmu atau apa pun kamu ingin menyebutnya. Kamu sendiri lebih pantas mendapatkan secangkir dalam wadah styrofoam. Jadi, selalu ingat pelajaran tentang kerendahan hati dan rasa syukur. Kamu bisa menerima semua hal itu gratis. Kamu bisa menerima semua fasilitas itu. Kamu benar-benar bisa menikmatinya. Syukuri saja hal itu, dan ketahuilah bahwa itu sejatinya bukan untukmu.”
Kisah ini sungguh membuat kesadaran tetap di tempatnya, bahkan saat kita ‘melambung’ oleh jabatan, posisi, sekaligus kesuksesan. Tetap rendah hati adalah sikap yang melahirkan mental kebijaksanaan.
- Penulis adalah psikolog yang juga menjadi dosen di ASMI Surabaya.