Oleh: Yenny Purbawati
mepnews.id – Tanpa disadari, kehidupan dunia pendidikan mengalami revolusi. Terjadi perubahan secara cepat. Mau tidak mau, suka tidak suka, guru ikut mengalami revolusi itu. Awalnya sangat berat, tetapi perlahan itu bisa melekat di jiwa guru.
Jaman dulu, tidak pernah terbayangkan ada pembelajaran secara virtual. Jaman kini, apa saja bisa dilakukan secara virtual. Maka, bukan hanya guru di sekolah, tetapi orang tua di rumah juga harus mengetahui cara mendidik anak sesuai jaman. Kemajuan teknologi dan perkembangan zaman membuat manusia harus beradaptasi.
Ada ungkapan Ali bin Abi Thalib yang cukup fenomenal mengenai pendidikan anak. “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian.”
Masalahnya, tidak semua guru dan orang tua memahami ungkapan ini. Salah satu kasusnya terjadi pada seorang murid di sekolah saya. Kebetulan, saya sebagai walikelas yang melakukan pendekatan agar siswa ini bisa menjadi anak merdeka dan melakukan hal-hal positif yang dapat meraih cita-citanya.
Anggap saja namanya Aldi, siswa kelas 8, berusia 14 tahun. Suatu siang setelah pulang sekolah dan hendak makan siang, Aldi berucap kepada ibunya di meja makan, “Bu, kalau Bapak sudah gajian, belikan aku ponsel baru ya? Yang ada sekarang sudah tidak bisa untuk menyimpan tugas-tugas dari sekolah. Aldi tidak mau terlambat dalam mengumpulkan tugas.”
“Apa…? Ponsel? Bukannya sekarang sudah tatap muka. Masa di sekolah masih pakai ponsel segala?” jawab ibunya dengan nada tinggi.
Aldi kaget mendengar itu.
Sebenarnya keluarga Aldi tergolong mampu dan bisa saja orang tuanya membelikan ponsel. Cuma, orang tua Aldi tidak memahami kebutuhan pendidikan anak di era teknologi. Biarpun sudah pembelajaran tatap muka, tetapi ponsel tetap dibutuhkan. Guru dalam pembelajaran tatap muka pun masih harus berbagi dengan siswa yang online di saat bersamaan saat pandemi COVID belum berakhir.
Ocehan ibunya terus menggema bahkan saat menjahit. “Aldi, asal kamu tahu ya, ibumu ini dulu sekolah jalan kaki. Mana ada sekolah bawa ponsel? Susah jadi anak zaman sekarang. Belum lagi ada pandemi. Huuh, sekolah hanya merepotkan orang tua!”
Aldi pun menikmati makan siang tanpa menghiraukan omelan ibunya. Selesai makan, Aldi bergegas meninggalkan meja makan. Walau ibunya masih berbicara menasehati, ia sudah tidak peduli lagi karena sudah terbiasa. Jika anak akan berdiskusi, tidak pernah ada kata sepakat. Selalu saja berdebat.
Berjalan menuju kamar, Aldi mulai mengerjakan tugas-tugas yang harus segera di-upload sebelum jatuh tempo agar nilainya baik. Apalagi pelajaran IPA yang pak gurunya suka mengomel.
Aldi sebenarnya anak patuh. Tapi, sejak pandemi, ia berubah. Ia merasa orang tuanya tidak bisa diajak berdiskusi. Hanya omelan demi omelan yang mendarat di telinganya.
Keesokan harinya, Aldi tiba di kelas. Ini memang jadwalnya mendapat giliran tatap muka di sekolah. Pelajaran IPA dimulai jam pertama. Pak guru sudah hadir dan menanyakan ke semua siswa mengenai tugas yang diberikan. “Anak-anak, bagi yang tidak mengerjakan tugas yang Bapak berikan minggu lalu saat daring, silakan keluar kelas!”
Ternyata tersisa lima siswa di dalam kelas. Berarti hampir semua tidak mengerjakan. Lalu, Aldi dihampiri gurunya dan diminta menunjukkan tugas dari ponselnya. Setelah melihat, Pak Guru mulai mengomel. “Apa ini? Mengerjakan tugas koq asal-asalan?”
Aldi mulai naik pitam mendengar ucapan gurunya. Ia merasa tidak pernah dihargai. Di rumah penuh omelan, di sekolah pun ia mendapat ucapan yang memekakkan telinganya. “Maaf, Pak. Hargai dong pekerjaan saya. Biar jawabannya masih salah, toh saya lebih baik daripada teman-teman yang berada di luar sana,” ucap Aldi.
Sang Guru merasa dirinya benar dan murid tidak boleh membantah ucapannya. Akhirnya Aldi juga disuruh ke luar kelas mengikuti teman-temannya yang sudah lebih dahulu di luar.
Lalu, Aldi pergi mencari saya di ruang guru. Kebetulan saya tidak ada jam mengajar. Aldi menarik kursi agar duduk lebih dekat. Ia menceritakan kegalauan yang baru dialaminya dan ketidakcocokan berdiskusi dengan ibunya di rumah.
Sebagai wali kelas yang merupakan pengganti orang tua di sekolah dan wajib mendengarkan keluh kesah anak didik, saya bisa merasakan bagaimana jika orang tua tidak pernah mau mendengarkan saat anak mengajak diskusi. Di zaman seperti ini, dukungan orang tua sangat diperlukan agar memahami arti bijak dalam memanfaatkan ponsel yang dibutuhkan anak. Banyak murid yang sudah merasa jenuh, dan pada saat seperti itu orang tua lah yang paling dibutuhkan anak.
Masalahnya juga ada pada guru. Masih ada beberapa guru yang sulit mengikuti perkembangan teknologi dalam mengajar. Sikap dan karakter sebagai guru jadul masih melekat.
Semoga saya bisa menjadi guru yang mengikuti arah perkembangan dunia pendidikan sesuai perkembangan zaman dalam mendidik siswa di sekolah dan mendidik anak di rumah.
- Penulis adalah guru IPS di SMP Negeri 1 Balikpapan.