Mengemas Batik untuk Dicintai di Negeri Sendiri

Oleh: Setio Hadi*

mepnews.id – Ketika mengamati sesuatu yang menarik untuk dituangkan sebagai desain motif, degup jantung saya terasa kencang. Saya langsung mencari kertas, memungut pensil, segera menggores garis, lengkung, titik-titik, menggambar bunga, dedaunan, kupu-kupu, burung yang membentangkan sayap, pepohonan dan ranting-ranting menjulur bagai tangan-tangan yang meraih sesuatu harapan yang indah.

Tapi, jangan bermimpi buah siap dipanen jika penghargaan terhadap batik tidak berasal dari kita sendiri. Batik sudah dicanangkan sebagai warisan leluhur yang harus diuri-uri dan dilestarikan. Tapi, apakah batik sudah dihargai oleh kita? Semoga harapan masih terbuka secerah mentari merekah di pagi hari.

Dengan latar belakang praktisi perajin batik dan desain motif batik, saya sehari-hari berkutat dengan mbatik. Urusan jualan, transaksi di-handle istri saya. Sementara, saya lebih berkecimpung tentang karya, dasain motif, yang saya kembangkan dari kearifan lokal.

Saya bukan guru akademik yang secara khusus dalam waktu terjadwal harus mentransfer ilmu kepada murid atau peserta didik. Hanya waktu-waktu tertentu, ketika saya diminta atau ada beberapa komunitas yang datang ke sanggar untuk diajari cara membatik, saya baru mengajari mereka.

Suatu waktu, saya diminta komunitas pecinta budaya untuk memberikan wawasan dan workshop tentang batik. Saya menyanggupi. Peserta ajar terdiri atas pelajar dan mahasiswa ini datang ke sanggar. Saya mengajar dengan tatap muka. Saya belum menemukan formula pembelajaran online yang lebih efektif, lebih mudah dipahami, kemudian bisa diaplikasikan dengan praktik. Ini tantangan bagi praktisi ilmu terapan, termasuk membatik.

Saat session desain motif batik, saya menjabarkan bagaimana menggali inspirasi dari kearifan lokal. Antara lain cerita sejarah suatu daerah, destinasi wisata atau peninggalan masa lalu berupa candi, situs dan lain-lain. Saya juga menjelaskan motif-motif lawasan yang perlu diperkenalkan kepada peserta didik. Dalam motif lawasan ada pakem-pakem corak ragam hias utama, lataran atau dasaran, termasuk isen-isen, yang membuat babaran kain batik jadi mempesona saat dipandang. Nah, motif lawasan itu lalu bisa dipadukan dengan desain motif batik yang kita kreasi sendiri. Atau, re-mix motif batik murni lawasan.

Sebagai contoh, saya mendesain motif ‘Purba’ saat terinspirasi Homo wajakensis salah satu manusia tertua (Homo sapiens) di Goa Song Gentong di Tulungagung. Cerita ini saya sampaikan agak ‘mistis’ dan ternyata menarik peserta yang belajar membatik. Dari situ saya tekankan, membuat desain motif itu diperlukan riset dan pengamatan langsung.

Suasana mistis itu dialami oleh mbak yang biasa nyanting motif-motif baru saya yang premium. Ceritanya sebagai berikut.

“Mbak, ini silahkan dicanting ya. Barusan saya gambar penuh. Sampeyan tinggal nyanting,” begitu pesan saya.

“Iya, Pak Hadi. Ini desain motif yang baru lagi, ya. Motif apa namanya, Pak?” mbak itu bertanya sembari menerima lembaran kain.

“Saya namakan motif ‘Purba’ karena ada corak fosil manusia tertua, dan fosil binatang juga tumbuhan.”

Lembaran kain dengan gambar motif Purba itu dia bawa pulang untuk dicanting. Eh, keesokan paginya si mbak diantar suaminya sudah di depan gerbang rumah saya. Begitu gerbang saya buka, ia menyerahkan lembaran lembaran motif Purba itu.

“Pak Hadi, maaf saya nggak sanggup meneruskan nyanting ini,” katanya dengan nada memelas dan ketakutan.

“Loh, kenapa?” saya kaget, sambil segera mengajaknya masuk galeri.

“Semalam, saya sengaja lembur, Pak Hadi. Siangnya saya mulai nyanting sedikit. Malamnya, karena saya belum ngantuk, saya teruskan nyanting. Suami dan anak nonton tv di ruang depan, saya biasa nyanting di ruang belakang. Begitu mulai nyanting yang ada gambar corak fosil manusia itu, tiba-tiba terjadi hal mengerikan.”

Si mbak mengaku sampai berteriak memanggil suaminya. Canting dilempar entah ke mana, sambil lari ke depan. Bersamaan, suami kaget dan lari ke belakang. Hampir bertubrukan. Lalu, suaminya menenangkan dia.

“Itu, Pak, saat saya nyanting, di depan saya tampak sosok hitam besar dengan mata merah mendelik. Tangannya berbulu, hiiii saya bergidik….,” mbak itu menarik nafas dalam-dalam. “Kalau ada, saya mau nyanting yang lain saja. Jangan yang itu, Pak.”

“Ya.. ya.. Mbak. Tenang dulu. Begini saja, malam ini kain babaran motif Purba biar di sini saja. Malam nanti tak melekane dan tak donganane. Besok pagi saya antar ke rumah njenengan. Sekarang njenengan pulang dulu, menenangkan hati…”

Keesokan paginya, kain babaran motif Purba itu saya antar ke mbaknya. Saya yakinkan agar mbaknya mau nyanting lagi sampai selesai. InsyaAllah tidak akan terjadi apa-apa.

Dengan wajah tampak masih trauma, mbak itu terpaksa menerima kain motif Purba. Berikutnya, ia nyanting hingga tuntas tanpa ada kejadian apa-apa seperti yang ditakutkan sebelumnya.

Setelah menceritakan hal mistis pada para peserta workshop, saya juga paparkan bagaimana mempromosikan batik agar menarik untuk dipelajari dan pantas untuk dikenakan sebagai fashion. Saya jabarkan pula bagaimana masyarakat, khususnya generasi milineal, untuk bangga memakainya.

Kebanggaan itu menjadi rasa untuk menjaga dan menguri-uri warisan leluhur yang adiluhung. Dengan rasa itu, masyarakat jadi semakin jatuh hati dengan babaran kain batik. Dari corak motif yang beraneka, hingga warna. Mulai yang klasik (lawasan), hingga yang kontemporer tanpa meninggalkan pakemnya. Meski kontemporer, secara teknis pengerjaannya tetap tradisional yakni menggunakan canting tulis dan menggoreskan malam (lilin) panas di atas babaran kain sebagai perintang warna.

Pecinta batik juga tiada matinya. Ibu-ibu milenial kembali tertarik dengan busana tradisional. Atasan kebaya, bawahan jarit corak batik dengan lilitan tidak harus diwiru tetapi lebih bervariasi cara melilitkannya. Tidak mau kalah, para pria pun biasa memakai atasan trendy dipadu berkain sarung motif batik. Tak mengurangi rasa elegant dengan busana gaya berkain sarung.

Tulungagung, 3 Oktober 2021

 

  • Penulis adalah perajin batik di Tulungagung. Bukan keturunan pengrajin, tapi karena sejak kecil sudah mencintai batik. Hadi kecil sering diajak ke rumah sahabatnya yang anak juragan batik. Ia menyaksikan bagaimana proses membatik dari awal sampai akhir, kemudian mempraktikannnya. Setelah menjadi perajin, ia juga berkeliling untuk memperkenalkan batik ke berbagai kalangan.

Facebook Comments

Comments are closed.