Botol Air dan Sebuah Pembubaran

Oleh: Moh. Husen

MEPNews.id – Biasanya, setiap usai pengajian, ada saja jamaah yang membawa sebotol air untuk ditiup dan dibacakan doa kesembuhan dan keselamatan oleh beliau.

Biasanya pula, beliau tak kuasa mengelak hal itu, merasa tak pantas dimintai doa, namun apa boleh buat tak bisa mengelak.

Beliau pun berdoa dan meniup air tersebut dengan pedoman mutlak dan tidak bisa ditawar bahwa yang mampu menyembuhkan hanya Allah. Selain Allah tidak ada yang mampu menyembuhkan. Adapun perantara kesembuhan bisa saja melalui ditampar atau diludahi tukang parkir atau disuntik dokter, akan tetapi sembuh dan sehatnya seseorang mutlak karena izin Allah SWT.

Dalam pengajiannya, beliau juga sering menyampaikan kisah Nabi Musa yang sakit perut. Kemudian Nabi Musa mengeluh kepada Allah minta kesembuhan dari-Nya. Lantas Allah bilang: “Wahai Musa, naiklah ke sebuah bukit, lantas makanlah daun yang ada di sana.”

Nabi Musa tancap gas ke sana. Begitu ketemu daun, langsung dimakannya daun-daun tersebut. Lantas sakit Nabi Musa sembuh.

Lalu Nabi Musa pun turun dari bukit tersebut. Belum lama Nabi Musa turun dari bukit, perutnya sakit lagi. Nabi Musa langsung tancap ke bukit lagi, dan langsung makan berlembar-lembar daun, namun kali ini sakit perut Nabi Musa tak kunjung sembuh. Dicoba makan daun lagi, dan masih saja tak sembuh-sembuh sakit perutnya.

Sampai akhirnya Nabi Musa protes kepada Allah: “Wahai Allah, kenapa sekarang daun ini tak bisa menyembuhkan sakit perut ku? Bukankah Engkau tadi mengatakan kalau ingin sembuh dari sakit perut makanlah daun?”

Allah menjawab protes Nabi Musa itu: “Wahai Musa, tadi yang pertama saat engkau sakit perut, engkau minta izin kepada-Ku mengenai kesembuhan perutmu. Lalu Aku suruh engkau memakan daun. Sakit perutmu yang kedua, kamu nggak minta izin kepada-Ku supaya sembuh. Kamu lantas makan daun dan kamu fikir daun bisa menyembuhkan. Nggak bisa. Daun atau siapapun nggak bisa menyembuhkan sakit perutmu kecuali Aku ijinkan daun atau batu atau apapun saja untuk menyembuhkan sakit perutmu.”

Kisah Nabi Musa ini sering beliau sampaikan kepada para jamaahnya agar selalu ingat dan menyakini kesembuhan mutlak hanya dari perkenan Allah. Terserah Allah seratus persen andai Allah mengizinkan daun, batu, ludah, air atau pil sebagai media perantara kesembuhan. Yang tidak boleh itu percaya bahwa daun atau yang lainnya, apalagi beliau, bisa menyembuhkan. “Tak tonyo rai-mu nek sampek percoyo aku bisa menyembuhkan,” kelakar beliau penuh kemesraan.

Beliau juga sering menyampaikan: “Kalau aku memijat punggungmu, mbok nggak usah engkau sebut aku sebagai tukang pijat. Kalau engkau menjumpai aku menyanyi, baca puisi, tak usahlah engkau menyebut aku seniman atau sastrawan. Sebutan itu tak penting. Karena yang terpenting adalah prilakunya bermanfaat atau tidak…”

Pernah suatu hari beliau diundang dalam sebuah seminar bersama seorang Gus dan rekan-rekannya. Baru saja acara berjalan, tiba-tiba ada aparat keamanan bersama pasukannya datang ke ruang seminar untuk membubarkan acara tersebut. Beliau langsung menemui pimpinan keamanan. Diajaknya ngobrol sebentar bahwa agar tak gaduh, cukup pimpinan bersama perwakilan saja yang masuk, sementara para rekan pasukan mohon menunggu di luar sana agar pembubaran berjalan kondusif.

“Bapak ibu,” kata beliau, “mohon bersabar sebentar. Acara kita ini akan dibubarkan. Monggo, kami persilahkan kepada bapak Pimpinan Keamanan untuk membacakan surat pembubaran acara ini”

Setelah bapak Pimpin Keamanan membacakan surat perintah pembubaran seminar, lalu turun panggung sambil dikawal oleh beliau dan dibisiki: “Pak, nyuwun sewu, karena acara sudah bapak bubarkan, mohon bapak berkenan menunggu saya di pojok sana tempat pasukan bapak tadi. Saya akan omong sebentar, setelah itu saya akan temui bapak di sana…”

Bapak itu pun melangkah keluar. Lantas beliau naik ke podium: “Bapak ibu, acara kita sudah dibubarkan. Sekarang kita akan berganti acara yang baru. Judul acara yang baru ini yang enak apa Gus?” Tanya beliau kepada Gus narasumber.

“Acaranya diganti Mauidhoh Hasanah saja Cak,” jawab spontan Gus narasumber.

“Baiklah bapak ibu, marilah kita buka acara Mauidhoh Hasanah ini dengan pembacaan bismillah. Dan kemudian pembacaan makalah oleh narasumber mohon dilanjutkan. Saya mau keluar, menemui Pak Keamanan di sana,” kata beliau.

Acara pun berjalan kembali tanpa mengurangi subtansi dari nama atau sebutan acara yang pertama. Beliau lalu keluar menemui Pak Keamanan bersama pasukannya. Beliau ajak mereka jagongan, ngobrol, saling tanya alamat, jumlah anak, sekolahnya di mana, dan seterusnya. Hingga selesai acara, segala sesuatunya berjalan dengan kondusif, tanpa anarki, dan nggak rewel blas.

(Banyuwangi, 11 Februari 2021)

Facebook Comments

Comments are closed.