MEPNews.id – Pada Jumat (28/11), Center for Identity and Urban Studies (CENTRIUS) mengadakan kegiatan ekskurus kedua dengan tajuk “From Surabaya to Kitakyushu: Building Green Cities through Urban Relations”.
Ekskursus merupakan forum yang bertujuan membahas tema-tema urban kontemporer melalui perspektif global dengan mengundang pemateri dari berbagai latar belakang. Edisi ekskursus pertama diadakan 4 September 2019, bermitra dengan Institut Francais Indonesia di Surabaya. Kali ini edisi kedua.
Ekskursus kali ini dibuka oleh sambutan dari Dias Pabyantara, direktur CENTRIUS. Menurut Dias, CENTRIUS dibentuk dengan upaya membumikan isu-isu internasional kepada warga Surabaya. Terkait tema kali ini, Dias menyatakan ia terinspirasi dari kerja sama Surabaya dengan Kitakyushu yang berjalan 22 tahun.
“Ekskursus adalah upaya awal untuk menjembatani diskusi antara pengambil kebijakan, aktivis, serta akademisi,” ungkap Dias. “Lewat ekskursus, CENTRIUS berharap dapat meningkatkan kualitas hubungan antarmasyarakat antara Surabaya dan Kitakyushu.”
Pemaparan pertama disajikan Yazawa Takahiro, Konsul Ekonomi dan Transportasi dari Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya. Yazawa mengungkapkan hubungan Indonesia dan Jepang di bidang lingkungan cukup produktif. “Misalnya, terlihat dari pembangunan moda raya terpadu (MRT) di Jakarta serta program rehabilitasi fasilitas perairan di Pacitan,” ungkap Yazawa.
Presentasi berikutnya dari Hamamoto Ryuuta, Staf Senior dari Biro Lingkungan Kitakyushu Asian Center for Low Carbon Society. Sebagai perwakilan dari Kota Kitakyushu, Hamamoto menyatakan kolaborasi Surabaya dan Kitakyushu memiliki potensi yang masih dapat dikembangkan.
Di antara yang disorot, kerja sama penanganan limbah medis menyusul adanya pandemik COVID-19. “Pemerintah Kitakyushu ingin selalu bisa membangun hubungan berbasis win-win solution dengan kota-kota lain,” ujar Hamamoto.
Menanggapi presentasi dari pihak Pemerintah Kitakyushu, ada pemaparan dari Farah Andita sebagai Perwakilan Bagian Administrasi Kerja Sama Kota Surabaya. Menurut Farah, kerja sama dengan Kitakyushu memiliki nilai tersendiri bagi kota Surabaya.
“Berbeda dari sister city Surabaya yang lain, kerja sama kami dengan Kitakyushu ini secara spesifik disebut green sister city,” ungkap Farah. “Kerja sama ini aktivitas sister city Surabaya yang paling aktif.”
Ekskursus juga mengundang Gracia Paramitha, dosen London School of Public Relations, sebagai perwakilan akademisi. Bagi Grace, sebagaimana ia akrab disapa, kota memiliki peran penting dalam upaya pelestarian lingkungan.
”Dampak perubahan iklim dapat langsung dirasakan masyarakat kota,” ungkap Grace. “Sehingga, diperlukan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan kota terkait lingkungan. Peran pemuda dan komunitas lokal menjadi penting.”
Dari perspektif komunitas masyarakat, Syafrizal Zaqi dari Kampoeng Djoeang menekankan pentingnya kalangan muda untuk bisa aktif dalam merespons perubahan iklim terutama dalam merawat lingkungan. Ia berpesan pemuda perlu membumikan isu lingkungan dengan efektif.
Menurutnya, hal tersebut dapat dilaksanakan dengan turun ke masyarakat demi mengetahui apa yang dibutuhkan. “Pemuda bisa membuat perubahan sekecil apa pun,” ungkap Zaqi menutup pemaparannya.