MEPNews.id – Rizky Amelia Zein, S.Psi., M.Sc, dosen di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) mengikuti kegiatan Triangle Sci pada 13-17 Oktober 2019 di Chapel Hill, North Carolina, Amerika Serikat. Triangle Sci tahun bertema keadilan pada komunikasi kesarjanaan. Tema ini terkait ketidak seimbangan atau ketidak adilan yang terjadi di komunikasi kesarjanaan.
Triangle Sci merupakan organisasi yang didirikan tiga perpustakaan dari tiga universitas pada satu area; Duke University, University of North Carolina, dan North Carolina State University.
“Dalam acara ini, kami berdiskusi terkait cara agar ilmu pengetahuan bisa mengakomodasi semua konteks dan semua orang. Selama ini, para ilmuan dari belahan bumi Selatan tidak terdengar suaranya. Maka, kami berdiskusi bagaimana agar suara kami bisa terdengar di dunia global,” jelas dosen yang akrab disapa Amel tersebut.
Selama kegiatan, Amel tergabung pada tim yang berfokus membahas strategi agar proses peer review jurnal menjadi lebih adil, wajar, dan lebih ramah. Tujuannya untuk menghilangkan diskriminasi terhadap ilmuan dari Selatan.
Menurut Amel, saat ini kondisi yang dialami para ilmuan di bagian Selatan tidak adil. Para ilmuan dipaksa bersaing dengan situasi yang sangat timpang. Sumber daya yang dimiliki ilmuan dari Barat jauh lebih bagus dibanding yang dimiliki ilmuan di Selatan. Dari segi mentoring, ilmuan dari Barat pun dapat jauh lebih baik daripada yang di bagian Selatan. Bahkan, belum tentu ilmuan dari Selatan memiliki mentoring seperti yang ada di Barat.
“Pada diskusi tersebut, kami mengidentifikasi ketimpangan sebenarnya terjadi pada bagian apa, dan bagaimana strategi untuk mengatasi ketimpangan tersebut,” lanjutnya.
Tim Amel juga berencana mengajukan dana bantuan guna melakukan kegiatan community outreach sebagai tindak lanjut jangka panjang dari strategi yang telah dihasilkan.
Refleksi Ulang Tujuan Perguruan Tinggi
Salah satu hal yang paling berkesan sekaligus miris bagi Amel saat mengikuti kegiatan di Chapel Hill ini adalah bagaimana kondisi universitas di sana.
“Saya merasa takjub sekaligus miris ketika mengunjungi Duke University. Meskipun bukan masuk pada Ivy League, namun universitas tersebut cukup punya prestige di sana. Fasilitas yang ada di sana berkali-kali lipat lebih baik daripada di Indonesia,” ucap Amel.
Menurut Amel, universitas di Indonesia dituntut untuk berkompetisi dengan universitas sekelas Duke University, Havard, Stanford atau universitas lain kelas dunia. Padahal, sumber daya yang ada di Indonesia jauh dari universitas-universitas tersebut.
Amel menambahkan, sebaiknya Indonesia melakukan definisi ulang terkait universitas seperti apa yang dibutuhkan, dampak seperti apa yang perlu dihasilkan universitas untuk bisa berkontribusi kepada masyarkat. Karena Bila menggunakan tolak ukur yang sama dengan universitas kelas dunia, maka jelas kebutuhan masyarakat dan kondisi di Indonesia berbeda.
“Saat ini perguruan tinggi dituntut mengejar ranking universitas dunia. Namun, apakah kompetisi tersebut sudah adil dan benar untuk dilakukan? Atau, adakah hal yang lebih substansial yang bisa dilakukan bersama selain mengejar ranking dunia?” (HUMAS UNAIR)