Oleh: Esti D. Purwitasari
mepnews.id – Saya baru saja baca laporan ilmiah menarik yang saya ingin bagikan lewat tulisan ini. Laporan yang dimuat di jurnal Redox Biology ini menyoroti kondisi kelainan genetik Marfan syndrome dengan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit neurologis dan komplikasi setelah stroke.
Pembaca yang budiman, Marfan syndrome disebabkan mutasi pada gen FBN1. Gen ini bertanggung jawab dalam pembentukan protein fibrillin-1 yang menentukan elastisitas dan kekuatan jaringan ikat. Padahal, jaringan ikat ini berfungsi sebagai ‘lem’ yang menyatukan, menopang, dan memberi struktur pada tubuh, termasuk pada tulang, pembuluh darah, mata, dan jantung. Maka, kelainan genetik ini membuat orang memiliki tubuh tinggi kurus dengan panjang lengan, kaki, jari tangan, dan kaki yang tidak proporsional. Bisa juga ada kelainan bentuk tulang belakang, tulang dada, hingga mata lebih menonjol, pelebaran aorta (pembuluh darah besar dari jantung), dan lain-lain. Kondisi ini terjadi pada sekitar 1 dari 5.000 orang.
Nah, penelitian dari tim Institut de Neurociències dari Universitat Autònoma de Barcelona (INc-UAB) mengungkapkan, peradangan yang terkait Marfan syndrome juga bisa meningkatkan kerentanan terhadap penyakit neurologis dan komplikasi setelah stroke.
Awalnya, Marfan syndrome dikenal karena komplikasi kardiovaskular (jantung dan sistem pembuluh darah). Namun, berdasarkan penelitian pada hewan di laboratorium, ia juga berdampak pada kesehatan otak. Meningkatkan kerentanan otak terhadap kerusakan yang disebabkan berkurangnya pasokan oksigen (seperti pada serangan jantung atau pendarahan hebat) dan meningkatkan risiko gangguan neurologis berikutnya.
Hasil penelitan tim yang dipimpin Profesor Francesc Jiménez-Altayó — peneliti di Departemen Farmakologi, Terapi, dan Toksikologi, INc-UAB ini menunjukkan Marfan syndrome juga meningkatkan risiko cedera otak. Maka, penting untuk mengenali dan mengelola risiko neurologis pada pasien Marfan syndrome untuk mencegah komplikasi dan meningkatkan hasil pengobatan.
Di laboratorium, tim peneliti mempelajari struktur dan fungsi pembuluh darah otak dan menilai respons otak terhadap gangguan aliran darah sementara akibat Marfan syndrome. Hasilnya mengungkapkan perubahan nyata dalam ekspresi gen, terutama pada pria muda dan wanita tua, terutama yang melibatkan protein terkait peradangan dan perbaikan jaringan. Terlepas dari usia atau jenis kelamin, tikus Marfan menunjukkan peradangan otak yang meluas sejak tahap awal kehidupan yang menunjukkan ketidakseimbangan terus-menerus dalam homeostasis otak.
Studi ini mengungkap gangguan dalam pensinyalan protein pengatur utama –TGF-β (transforming growth factor beta)– serta perubahan dalam pergantian matriks ekstraseluler dan integritas pembuluh darah.
“Mekanisme ini dapat membantu menjelaskan mengapa individu dengan Marfan syndrome menghadapi risiko lebih tinggi mengalami masalah neurologis, bahkan tanpa adanya kejadian kardiovaskular,” kata Gemma Manich, penulis utama makalah penelitian.


