Manusia dalam Ilusi Digital

Oleh: Bambang Prakoso

mepnews.id – Mari kita menilai diri sendiri. Bagaimana diri kita sebagai manusia di era digital?

Pemeran figuran dalam hidup sendiri, penyakit sosial yang lebih ganas dari pada wabah, obsesi kepada caption dan standarisasi media sosial. Kita tak lagi hidup sebagai manusia tapi sebagai etalase berjalan. Semua harus estetik, harus istagramable, harus kelihatan mewah, kelihatan goal, tapi realitanya hidup kita lebih kosong dari filter yang kita gunakan.

Menurut Leon Festinger dalam Social Comparison Theory, manusia selalu membandingkan diri dengan orang lain. Tapi, sekarang manusia mengalami pergeseran lebih rendah. Yang kita bandingkan bukan lagi manusia, tetapi ilusi digital yang dipoles dengan ribuan filter dan rekayasa pencintraan.

Belajar pada abad keluhuran, mari kita lihat perbandingannya. Orang dulu ingin sukses betulan, kita sekarang hanya ingin terlihat sukses. Orang jaman dahulu ingin bahagia beneran, orang sekarang lebih ingin terlihat bahagia. Orang di masa silam mencari pasangan, orang sekarang mencari tiket masuk ke feed esthetic.

Dalam psikologi, hal ini disebut sebagai Social Imposter Syndrome. Ketika kita terus merasa tidak cukup karena membandingkan diri dengan standar ilusi yang diciptakan media sosial, yang kita kejar bukan lagi kebahagiaan murni tapi validasi, yang kita bangun bukan kehidupan tapi pentas teater absurd.

Kita tak lagi mempunyai olah batin, tidak punya olah nurani yang matang, sehingga kehidupan nyata dianggap membosankan karena tidak ada filter, tidak ada backsound dramatis, tidak ada cinematic slow motion saat kita berjalan. Kita mungkin saja memposting foto dengan caption “hidup bukan tentang segalanya tetapi mensyukuri yang ada.” Padahal, 3 menit sesudahnya, kita gelisah karena kenyataan hidup tidak sesuai dengan ekspektasi. Kita menulis status murahan “jangan menyesali orang yang telah pergi.” Padahal, di kehidupan nyata kita masih stalking akun mereka tiap malam. Lebih komedis lagi, kita menulis caption penuh kode dan sindiran murahan.

Seolah dunia bersedia berhenti hanya untuk memahami perasaan kita. Seolah satu paragraf di media sosial dan status Whatsapp kita bisa mengguncang kesadaran semesta. Tapi, realitanya, dunia tidak peduli. Netizen hanya membaca sekilas dan sekadar mengernyitkan kening lalu kembali sibuk dengan kehidupa masing-masing. Sementara kita masih terjebak dalam fantasi bahwa kalimat puitis hasil copy paste dan berharap dapat mewujudkan ciptaan pikiran kita.

Kita menjalani interaksi bukan dengan perasaan tapi dengan kamera. Kalau tidak ada foto berdua, netizen bertanya “masih bareng atau sudah bubar?” Seolah-olah nilai cinta ditentukan oleh algoritma engagment dan bukan oleh rasa atau komitmen, cinta bukan lagi soal komunikasi tapi soal siapa yang lebih Relationship Goals.

Kita lebih suka curhat pada serigala kelaparan di media sosial daripada saling terbuka satu sama lain secara offline. Mencari pasangan pun semakin absurd. Laki-laki harus kaya, harus gentleman, harus punya vibes sultan, punya barang mewah, meski hasil dari tendang pintu atau hasil kredit dengan bunga mencekik; tanpa melihat tanggung jawab dan kedewasaanya. Perempuan harus flawless 24 jam, harus Soft Girl Aesthetic, harus seksi, harus tobrut, harus glowing, wangi; tanpa peduli isi otaknya kosong atau attitude-nya nihil.

Tidak sedikit keluarga yang tidak kalah konyol dan komedis laku hidupnya. Orang tua tidak lagi jadi panutan, tapi jadi bahan konten prank demi engagement. Dulu anak belajar dari pengalaman panjang orang tua. Sekarang anak lebih percaya influencer murahan yang minim literasi dan yang selera pengetahuannya rendah. Padahal, influencer kadang juga hidupnya tidak lebih baik daripada sinetron sampah. Di sisi lain, orang tua justru sibuk membandingkan anaknya dengan keluarga estetik di Tiktok daripada membangun karakter sejati anaknya sendiri.

Hidup di era digital masa kini sama seperti di pentas drama. Masalahnya, umumnya kita lebih memilih jadi figuran dalam pentas tater sosial daripada menjadi pemeran utama dalam hidup sendiri. Repot sekali.

Terus, bagaimana jika hidup kita sudah terlanjur dikendalikan oleh media sosial? Maka; matikan notifikasi, nyalakan akal sehat; berhenti memperlakukan hidup sebagai bahan konten; hargai kebahagiaan yang tidak bisa difoto; pahami bahwa cinta sejati tidak butuh caption. Gunakan media sosial sebagai alat, bukan sebagai penjara.

Ayo kita banyak baca buku, buka cakrawala pengetahuan, kurangi media sosial, banyak olah pikiran, tambahi olah batin, tanpa perlu validasi dari luar diri kita. Mari belajar bertanya pada diri sendiri sebelum memposting sesuatu “apakah ini memang penting atau hanya untuk flexing?” Kalau jawabanya flexing, lebih baik simpan untuk diri sendiri. Karena ilusi media sosial tidak seindah yang kita harapkan.

Ingat, ada yang lebih rendah daripada budak caption; yaitu orang yang mengkultuskan pencipta standar bodoh yang memperbodoh netizen. Mereka menjual motivasi yang lebih palsu daripada senyum sales rokok di trotoar jalanan kota urban. Tapi yang lebih rendah daripada budak caption itu juga sangat diterima netizen yang sangat pemalas baca teks panjang.

Kalau hidup kita hanya untuk menyebar ilusi dan menyesatkan pemikiran orag lain, maka binatang tentu lebih terhormat daripada kita. Ya, karena binatang itu jujur dengan nalurinya, semenara kita hidup dalam kebohongan yang kita rekayasa sendiri.

Tulisan ini mungkin bisa membuat orang tersinggung, bahkan marah. Iya, karena realita tidak tercipta untuk menyenangkan, dan terlalu menyakitkan bagi kita yang terbiasa hidup dalam gelombang algoritma.

Kita tidak pernah tidak melakukan kesalahan. Tapi, bukan berarti kesalahan menvonis kita seumur hidup untuk tidak melakukan perubahan. Perubahan itu tidak berasal dari mereka yang tidak kafah memahami kita, tapi dari diri kita sendiri, dan dari akal yang dianugrahkan semesta kepada kita.

  • penulis adalah dosen Ilmu Perpustakaan FISIP UWKS, pengurus ICMI Jatim, dan ketua GPMB Jatim.

Facebook Comments

Comments are closed.