Teaching Style Memanfaatkan 4 Type Kepribadian

Oleh : Ulfa Binti Arafah

mepnews.id – Mengajar merupakan rutinitas yang dilakukan guru. Namun, tugas utama guru bukan hanya mengajar. Guru juga mendidik peserta didik agar memiliki adab dan akhlak mulia. Proses interaksi antara pendidik dan peserta didik dinamakan pembelajaran.

Pembelajaran mempunyai tujuan peserta didik mampu menyerap dan memahami kompetensi yang diajarkan guru. Namun, apakah pembelajaran cukup menyenangkan sehingga pseserta didik langsung mampu menyerap materi? Belum tentu.

Maka, perlu teaching style (gaya mengajar) pendidik harus beragam agar tidak membosankan siswa. Karena setiap anak memiliki karakter berbeda, guru harus mampu menyampaikan pembelajaran dengan inovatif dan kreatif. Peserta didik mungkin akan malas mendengarkan bahkan memperhatikan saat materi diterangkan guru yang menggunakan gaya belajar monoton atau tidak sesuai karakter anak.

Dalam perkembangan di dunia pendidikan, kita mengenal berbagai macam gaya mengajar. Gaya mengajar klasik, teknologis, personalisasi, interaksional dan masih banyak lagi lainnya. Setiap gaya memiliki ciri tersendiri. Namun beberapa gaya mengajar di atas sudah sangat sering dilaksanakan pendidik dalam proses pembelajaran. Gaya-gaya tersebut lebih bersifat teknis.

Di sisi lain, apakah pernah guru memanfaatkan seni pengajaran dan pembelajaran peserta didik melalui tingkah laku kepribadian mereka secara lebih mendalam?

Selama ini, jika terjadi perubahan pola tingkah laku ke negatif, siswa selalu diarahkan ke guru bimbingan konseling (BK). Praktisnya, BK lebih bersifat menangani proses tingkah laku anak menyimpang. Padahal, yang dimaksud memahami seni gaya mengajar tersebut adalah berpatokan pada diri anak. Bagaimana karakter siswa di lingkungan sekolahnya. Secara tidak langsung, itu menggambarkan tipe kepribadian anak.

Dari sini, kita bisa memakai gaya mengajar berdasarkan tipe kepribadian anak. Johan Friedrich Herbart, yang kita kenal sebagai Bapak Psikologi Pendidikan, mengususng konsep utama Herbartianisme. Konsep tersebut menggunakan pemikiran aperseptif yaitu istilah yang khusus bagi pengetahuan yang telah dimiliki individu. Herbart menegaskan, proses belajar atau memahami sesuatu bergantung pada pengenalan individu terhadap hubungan-hubungan antara ide-ide baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

Setiap anak memiliki pengetahuan berbeda bergantung pada pengalaman belajar di keluarga, sekolah, maupun lingkungan sekitar. Hal ini tidak terlepas dari kepribadian si anak dalam menyerap informasi. Ada beberapa anak yang lamban mencerna pengetahuan. Bisa jadi ia terkendala pembiasaan berupa jarang berkomunikasi dengan sekitarnya, sehingga ia lebih pendiam. Sebaliknya, ada tipe anak yang mudah memahami bahasa percakapan orang-orang dewasa di sekitarnya. Semua itu tidak terlepas dari watak atau karakter anak sejak dini.

Dalam teori psikologi, manusia memiliki empat kepribadian yang membentuk karakter dalam jiwa manusia. Watak tersebut terdiri dari plegmatis, melankolis, sanguinis dan koleris.

Watak plegmatis digambarkan dengan pribadi cinta damai, obyektif, tenang tapi penakut. Anak yang memiliki karakter ini cenderung lebih jadi pengamat atau observer dan pendiam.

Watak melankolis ditandai dengan pribadi disiplin, perfeksionis dan perasa. Anak ini  senang berfikir dan menghayati setiap peristiwa yang ia lihat. Namun, ia kurang mudah bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

Watak sanguinis kebalikan dari watak melankolis, yakni lebih antusias dan responsif. Watak sanguinis merupakan pribadi tidak disiplin dan emosi cenderung labil. Anak ini bertipe lebih agresif dan cepat mendapatkan teman  di sekitar karena mudah bergaul.

Ciri watak koleris adalah pribadi yang tegas dan berkemauan keras meski cenderung ceroboh dan pemarah. Anak berwatak koleris gampang menjadi pemimpin atau pelopor bagi sekitarnya karena suka memerintah meski terkadang egois.

Claudius Galen, tentang empat kepribadian yang berdasarkan empat jenis cairan tubuh dalam manusia, mengungkapkan manusia tidak mungkin memiliki satu kepribadian mutlak akan tetapi mempunyai kombinasi berbeda. Misalnya, watak melankolis yang dominan biasanya diikuti watak kombinasi plegmatis. Begitu juga sebaliknya.

Saat di kelas, kita bisa mengamati pola dan gaya tingkah laku anak saat proses pembelajaran. Contohnya, saat guru menerangkan materi, anak yang memiliki kepribadian sanguinis atau koleris biasanya lebih aktif dengan menggerakkan bunyi tangan atau kakinya sehingga bisa mengganggu teman-temannya yang asyik mendengarkan guru. Anak dengan tipe kepribadian ini cenderung lebih agresif daripada anak yang memiliki watak melankolis atau plegmatis.

Kendati demikian, guru harus peka dengan tipe kepribadian anak yang seperti ini. Tidak perlu langsung memarahi atau membentak dengan kasar, guru justru harus memberi pengertian lebih mendalam pada anak tersebut.

Berbeda halnya dengan anak bertipe melankolis atau plegmatis. Anak tipe ini cenderung pendiam, karena kurang begitu agresif dalam proses pembelajaran. Maka, guru harus menunjuk anak ini agar lebih aktif bertanya atau menjawab.

Guru juga bisa memanfaatkan beragam media untuk mengajar anak-anak yang memiliki gaya belajar berbeda-beda. Gaya belajar anak mengarah pada antara lain kinestetik, audio dan visual. Gaya belajar tersebut tidak terlepas dari tipe kepribadian si anak.

Anak yang memiliki gaya belajar visual lebih mengedepankan penglihatan atau mata dalam memahami materi . Strategi untuk mempermudah proses belajar anak gaya visual adalah dengan menggunakan materi visual. Antara lain; gambar, diagram dan peta. Kemudian, mengajak anak membaca buku-buku berilustrasi dan mencoba mengilustrasikan ide-idenya ke dalam gambar.

Anak dengan gaya belajar auditori pendengarannya lebih aktif. Ia belajar dengan cara mendengar. Ia mengandalkan kesuksesan belajarnya melalui telinga (alat pendengaran). Untuk itu guru sebaiknya memperhatikan ia hingga ke alat pendengarannya. Anak auditori dapat mencerna makna yang disampaikan melalui tone suara, pitch (tinggi rendahnya suara), kecepatan berbicara, dan hal-hal auditoris lainnya. Anak yang mempunyai gaya belajar auditori ini dapat belajar lebih cepat dengan menggunakan diskusi verbal dan mendengarkan apa yang guru jelaskan.

Gaya belajar kinestetik mendorong anak belajar dengan cara bergerak, bekerja dan menyentuh. Anak seperti ini sulit duduk diam berjam-jam, karena keinginannya untuk beraktifitas dan mengeksplorasi sangatlah kuat. Siswa yang bergaya belajar ini belajarnya melalui gerak dan sentuhan.

Memang, gaya belajar anak juga erat kaitannya dengan tipe kepribadian. Semakin memahami karakter anak, maka guru akan mencoba strategi variasi pembelajaran sesuai gaya belajar anak.

  • Penulis adalah pengajar di Magetan dan mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Islam di IAIN Ponorogo. Email : ulfaarafah97@gmail.com

 

Facebook Comments

Comments are closed.