Hidup Terpaksa Belajar

Oleh: Khusnatul Mawaddah
mepnews.id – Desir semilir angin di atas gubuk bambu menyambut sang pemikir merenung. Di kiri gubuk bambu, kulum senyum pepohonan menyiratkan harapan selalu ada. Lambaian daun pisang dengan tiga warna; hijau, kuning, coklat, mirip gambaran fase kehidupan. Induk pohon pisang membopong buah yang sudah bergelayut, ranum, berjenjang, dari bawah ke atas, dari kecil, sedang, hingga besar. Buah-buah yang rapi berdempetan seperti saling menguatkan untuk sebuah karya agar layak disajikan. Sementara di sisi kanan dan kiri induk pisang bermunculan tunas-tunas yang bersemangat menjulurkan daunnya semakin tinggi.
“Bisakah diriku seperti kau, pisang?” bisikku lirih karena malu dengan diriku sendiri.
Apa yang bisa keperbuat untuk masa depan? Bagiku, masa depan tak hanya seonggok prestasi berjejer piala atau sanjungan dari berbagai model manusia. Alam bodohku menganggap masa depan adalah sebuah maha karya yang direncanakan dan dikelola, ditumbuhkan secara simultas dan terukur.
Yang tahu caranya sukses dengan masa depan adalah diri sendiri, bukan orang lain. Aku dulu tak tahu apa-apa. Ayah dan ibuku memaksaku sekolah SD meski masih balita. Tiap hari menangis karena tak bisa membaca dan menulis seperti teman-temanku. Ternyata, aku dan adikku dulu diajak ayah ikut mengajar agar ibuku bisa bekerja di rumah. Mungkin ibuku mengira itu lah cara agar aku dan adikku tidak mengganggu ibuku.
Ibuku dulu peternak, penjahit, penyuluh ibu-ibu PKK serta terakhir bikin sekolah kanak-kanak. Pulang sekolah, ibuku masih memaksaku ikut les di guru ngaji, dan aku selalu menangis jika ngajiku salah. Pulang-pulang, mataku sembab karena kelamaan menangis. Semakin besar semakin tambah umurku akhirnya semua bisa berjalan lancar.
Riwayat masa kecil menjadi jejak dalam alam bawah sadarku. Aku harus lebih baik daripada ayahkua dan ibuku. Aku harus berusaha lebih keras agar ayah dan ibuku senang. Terus begitu, sampai dunia kerja memaksaku untuk mampu mandiri.
Melihat diriku sendiri, seperti ada timbangan di depan mata. Bahkan, saat menulis begini, apa yang perlu kutuangkan tentu yang pernah kulakukan. Adakah timbangan kebaikan yang bisa kusajikan? Mungkin juga keburukan yang pernah kulakukan sebagai batu sandungan?
Lucu memang hidup ini. Terkadang kita ketakutan dengan tantangan di depan mata. Kita lebih meminta semua rencana lancar saja, mudah, dan tidak ada kendala. Terkadang kita lupa untuk mencapai puncak gunung tertinggi itu harus melewati bukit terjal dan penuh duri.
Semua rentetan sandiwara hidup ini tak lepas dari sebuah pembelajaran. Seperti gelas kosong, diisi air penuh agak susah untuk di minum. Maka, isi secukupnya dulu agar enak diminum. Jika kurang, bisa nambah. Begitu juga ilmu. Isi sedikit demi sedikit otak sesuai kebutuhan. Lama-lama, isinya akan banyak sampai bertumpuk-tumpuk. Tapi, jika isi di dalam otak dibiarkan saja tanpa dibagikan, tentu ilmu akan mengkarat dan tak berguna.
Terpaksa belajar apapun sesuai kebutuhan itu berguna. Bukan sekadar untuk menambah pengetahuan, namun lebih spesifik agar ada peningkatan kualitas hidup. Dengan terus belajar, manusia akan menciptakan pengetahuan baru hingga inovasi baru.
Sebagai contoh, mengajar anak PAUD itu tidak hanya bernyanyi, bercerita, membaca, menulis bahkan menghitung. Namun, belajar dengan model sentra di permainan lebih membekas dan lebih efektif. Guru bisa mencari obyek bersama anak didiknya. Saat temanya tumbuh-tumbuhan, anak-anak bisa diajak langsung ke area perkebunan atau sawah. Biarkan mereka melihat semua tumbuhan yang ada, baru guru memancing pertanyaan yang membikin anak-anak berpikir analitis. Semua yang dilihat, diraba dan dirasakan akan menjadi kumpulan data di indikator serta laporan penilaian. Anak yang mulanya pendiam, tak reaktif, bisa menjadi sebaliknya. Anak yang biasanya banyak tanya akan semakin banyak kosa katanya.
Guru terpaksa belajar bagaimana menciptakan kondisi dinamis saat belajar bersama dengan methode sentra. Lalu, guru harus belajar lagi saat gadget semakin canggih mendominasi. Gadget memicu keingintahuan anak yang cukup di layar saja. Ada sisi sosial emosional bahkan kognitif yang mulai tergerus. Anak punya banyak pengetahuan secara maya, tapi tak tahu asalnya buah dari mana dan bagaimana bentuk pohonnya. Serta semua benda yang sifatnya dari alam, mereka buta konsep alamnya. Bahkan, anak petani pun ogah mengetahui proses dari hulu dan hilirnya orang tua mengelola sawah atau kebunnya.
Jika masa depan anak bangsa dititipkan hanya kepada teknologi, apa jadinya? Anak-anak kita nanti tak lebih seperti robot berjalan. Pikirannya tak nyambung dengan lingkungannya. Ini yang menjadi kegalauan saya sebagai pendidik PAUD.
Mumpung masih ada kesempatan berpikir panjang, saya berusaha mendekatkan anak-anak pada alam sekitar, mendekatkan pada lingkungan, memaksa orang tua mereka untuk ikut berinvestasi dalam tumbuh kembang mereka secara simultan.
Belajar hidup memang harus dipaksa. Belajar memahami juga harus dipaksa. Belajar membiasakan diri untuk komitmen juga harus dipaksa.
Pada akhirnya bibit yang kita tanam akan memberi kesejukan dan menghasilkan buah. Sang pemikir harus selalu cepat bergerak. Yang mampu menggerakkan adalah niat tulus karena illah, bukan karena manusia lagi. Tak boleh kita terlena dengan pujian. Teruslah menjadi padi yang menguning dan menunduk, atau jadi pisang yang setia sebelum berbuah dan beranak pinak. Karena hidup tak ada jalan pintas, maka semua terpaksa harus belajar hidup.
* Penulis adalah pengusaha yang jadi guru PAUD di kota Bojonegoro, Jawa Timur.

Facebook Comments

Comments are closed.