Perjuangan Guru Honorer

Oleh: Ratna Palupi

mepnews.id – Ada seorang gadis yang sejak kecil mempunyai cita-cita mulia menjadi guru. Gadis kecil itu hidup bersama neneknya di Desa Bangunsari, Caruban, Kabupaten Madiun. Tak heran jika sejak kecil ia bercita-cita sebagai guru. Memang kedua orang tuanya berprofesi sebagai guru.

Siapa dia? Namanya Nana Risnasari. Nana punya tujuh saudara dalam keluarga sederhana yang selalu memperhatikan aturan dan etika dalam segala aspek kehidupan. Ayahnya ketat dan disiplin dalam menempa karakter anak-anaknya.

Nana selalu aktif dalam kegiatan sekolah. Hobinya membaca, sehingga teman-teman menjulukinya si kutu buku. Semangat dan keyakinan yang melekat bulat ditulisnya di buku harian. “Aku mau menjadi guru.”

Kala itu, banyak orang meremehkan gaji guru. Pada jaman dulu, guru bergaji kecil dan tak cukup untuk membiayai satu keluarga dengan tujuh anak. Ayah dan ibu Nana haru ‘gali lubang, tutup lubang’ dan hidup dalam kesederhanaan.

Namun, gadis ini tetap ingin menjadi guru meski hanya honorer (GTT). Nana menganggap pekerjaan sebagai guru itu sangat mulia, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Maka, ia meluruskan niat untuk berbagi ilmu yang dia kuasai. Ia tidak terlalu peduli dengan honor yang didapat.

Dari sekolah, Nana diberi honor Rp 100 ribu per bulan. Jika dipikir-pikir, apa arti uang seratgus ribu rupiah dengan kebutuhan dia sekeluarga bersama suami dan dua anak?

Nah, itu lah yang perlu kita cermati. Jadi guru honorer itu penuh perjuangan. Segala sesuatu tidak dihitung dengan materi, tetapi dengan kepedulian terhadap pendidikan untuk mencerdaskan anak didik dengan hati nurani. Ia mengabdi untuk negeri tercinta dengan hati riang dan ikhlas.

Dalam perjuangan mengabdi, pasti juga ada aral melintang serta ujian dan tantangan. Tetapi Nana termasuk perempuan tangguh yang telah terlatih. Sebelum jadi guru honorer, dia pernah menjadi pengusaha mutilevel marketing yang sering bertatap muka dan mendapat panduan dari tentor atau upline supaya usahanya lancar dan jiwanya pantang menyerah. Tak heran, ilmu di lapangan itu juga diaplikasikan dalam pengabdiannya sebagai GTT.

Dia berjuang membesarkan anak didik yang tinggal di desa. Boleh dikata, modal setiap walimurid hanya pasrah bongkokan alias tidak mau tahu bagaimana caranya. Orang tua menuntut anaknya bisa, tapi tidak mau terlibat apapun.

Maka, perjuangan Nana penuh tantangan, tetesan keringat, hingga dan air mata. Selain mendidik anak-anak dengan berbagai kondisi, GTT harus beradaptasi dengan para guru PNS yang tak semuanya bersimpati pada honorer. Bahkan, ada yang memandang dengan sebelah mata atau menyindir sinis keberadaan GTT. Padahal, keberadaan GTT sangat membantu pemerintah dalam memajukan pendidikan. Apalagi banyak guru yang purna tugas.

Tak terasa, sudah 14 tahun Nana berjuang penuh suka dan duka bersama teman sekerja. Alhamdulillah, Nana mendapat tempat mengabdi di dekat rumah dan teman kerjanya sangat menyenangkan. Ini yang membuatnya kerasan. Bahkan, waktu juga yang membuatnya semakin terampil dan mengajarnya maksimal. Tak ubahnya seperti guru profesional meski ia hanya berstatus guru honorer.

Rahasia illahi tak terduga. Semua diatur oleh Sang Maha Pemberi Riski. Kebijakan pemerintah, yang sering berganti ini dan itu, tetap disikapinya dengan hati senang. Maklum, setiap ganti menteri pasti ganti kebijakan atau kurikulum. Menurut Nana, berbagai kurikulum yang ada pasti dalam masa uji coba dan akan berhasil dalam waktu yang berproses. Hanya satu pondasi yang tidak akan mati; nilai-nilai moral agama dan nilai Pancasila. Ini harus tertanam dan mengakar kuat di dalam diri anak-anak serta guru di seluruh Nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Pada perempat pertama abad 21 ini, seluruh dunia mengalami pandemi COVID-19. Sekitar dua tahun, anak-anak tidak belajar di sekolah. Meski ada pembelajaran online, hal-hal tak terduga bisa muncul karena situasi membawa dampak positif maupun negatif. Anak-anak jadi lebih malas membaca, tetapi semangat main HP. Tanpa disadari, HP belum terfilter dengan baik. Anak-anak bisa dengan leluasa melihat tontonan mengerikan yang belum saatnya dilihat. Miris, sedih dan prihatin karena sebagian anak sekarang kurang konsentasi dan sikapnya tak terkendali.

Tentu, semuanya jangan saling menyalahkan tapi harus segera mencari solusinya. Semua dikembalikan lagi untuk penanamaan karekter, budi pekerti luhur, dengan menanamkan nilai-nilai agama yang kuat. Perlu perhatian dan dukungan oarang tua, dan teladan guru, untuk mencetak generasi emas yang berakhlak mulia.

Maka, Nana mengecek siswanya dengan selalu meminta laporan kegiatan pembiasaan sholat, mengingatkan bila ada yang bertutur tidak sopan atau berkata kotor dan bersikap kurang sopan.Nana tidak segan menegur anak-anak dan walinya.

Apa yang diusahakan Nana dalam dunia pendidikan tidaklah sia-sia. Apa yang telah diniatkan karena ibadah  membuat dirinya bisa melakukan tugas dengan berhati emas dan lapang dada. Mendidik siswa dengan berbagai kondisi tidak membuatnya capek untuk terus berkarya. Ada siswa yang penurut, ada juga yang bandel dan jago misuh (mengucakan kata-kata tak senonoh).

Perjuangan dan pengorbanan panjang itu akhirnya mendapat angin segar. Pemeritnah memberi usaha peningkatan kesejahteraan GTT dengan ikut bimbingan teknis dalam persiapan tes P3K.

Selama tujuh hari, Nana mengikuti bimtek dengan berbagai materi dan tugas. Waktu tes P3K pada 14 Septemeber 2021, Nana ikut mengerjakan dengan tekanan, beban mental, beban batin, karena persaingan antar teman GTT yang sama-sama lama mengabdi. Nana juga turut menunggu pengumuman P3K di seluruh tanah air yang  ternyata beberapa kali diundur.

Akhirnya perjuangan berbuah manis. Hasil pengumuman, Nana lulus dan bisa mengisi formasi P3K yang dibutuhkan pemerintah. Tangisan mengharu biru. Guru honor ini mendapatkan SK NIP P3K.

Semoga ini menjadi keberkahan yang terus berproses dalam pendidikan era abad 21. Tantangan membentuk generasi emas hanya bisa dilakukan dengan landasan agama yang kokoh dan penanaman nilai-nilai Pancasila serta peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

 

  • Penulis aadalah GTT di SDN Baron 2, Magetan

Facebook Comments

Comments are closed.