Oleh: Sri Kartini Handayani
mepnews.id
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
Dan menyanyi kecil buatmu.
Aku pun sudah selesai,tinggal mengenakan sepatu,
Dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
Kerja yang sederhana;
(Selamat Pagi Indonesia, Karya Sapardi Djoko Damono)
Moment emas 100 tahun Indonesia Merdeka, meski masih 24 tahun lagi, mulai disambut marak oleh kesetiaan anak bangsa dalam langkah setia praja. Perencanaan, konsep yang terorganisir, pesta julukan, opini dari hulu ke hilir, telah ditujukan pada bayi yang masih di ayunan, murid SD, SMP, SMA hingga mahasiswa, yang 24 tahun ke depan jadi pemimpin Indonesia. Semua perspektif, harapan dan ekspektasi Indonesia bermartabat di masa depan dengan titik pijak ‘Patah Tumbuh, Hilang Berganti’ mulai menggeliat.
Patah dan hilang akan tumbuh berganti. Peribahasa ini, kalau dimaknai secara serius, akan terpaku pada pertumbuhan yang silih berganti. Bagai tongkat estafet pergerakan dari generasi lama ke generasi masa depan dalam wujud setia Indonesia. Energi ini terangkai dalam semangat kerja puisi Selamat Pagi Indonesia.
Generasi apa pun nama julukannya dapat diumpamakan sebagai bunga citra masyarakat yang bersemangat membangun negeri/praja, yang hidup tumbuh dan berkembang, serta memberi warna tersendiri dan keharuman khas atas nama persamaan yang dominan, sehingga citranya dijadikan sebutan. Misalnya, ‘generasi emas’, ‘generasi milenial’, dan lain-lain. Keunikan makna generasi berefek memberi warna sari bagi setiap pertumbuhan dan perkembangan, serta menjadi koleksi keabadian sejarah anak bangsa di masa depan.
Menurut Rosabeth Moss Kanter, generasi masa depan akan didominasi nilai-nilai dan pemikiran kosmopolitan sehingga dituntut memiliki concept, competence, dan connection. Konsep ini tentu untuk melahirkan para inisiator, inspirator, motivator dan organisator yang mumpuni. Konsep yang dikembangkan Kanter ini sangat menggugah selera komunitas pecinta langkah Ki Hajar Dewantara -kitalah tentara praja pendidikan- yang merapatkan barisan menyambut 100 tahun Indonesia merdeka.
Nah, apa lagi yang dirisaukan wahai pahlawan pendidik bangsa? Banyak konsep pendidikan masa depan menuju generasi emas yang betebaran dan dapat kita berdayakan. Menggerakkan generasi masa depan berwawasan kosmopolitan dengan pondasi berporos pada budaya praja itu tidak mustahil dilaksanakan, asalkan kita sepakat dalam teamwork raksasa berupa sebuah bangsa. Konsep ilmu yang bermanfaat dapat dilaksanakan dengan mendidik sungguh-sungguh sambil kita beri toping atau pemanis berupa penerapan karakter untuk jiwa yang praja, harta yang kita punya. Tak soal itu anak siapa, yang pasti mereka adalah anak-anak bangsa; anak-anak yang memiliki jiwa praja.
Generasi Praja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI), praja bermakna [n] kota; negeri. Sedang secara semantik istilah ‘praja’ berasal dari bahasa Jawa Kuno yang diartikan ‘kerajaan’ atau ‘negara’. Misalnya, Praja Ngamarto artinya Kerajaan Amarto atau Pendowo.
Lantas, apa hubungannya antara makna dasar praja dengan generasi praja dalam menyambut kerja Indonesia 2045?
Mari kita coba mengkontruksi harapan, cita-cita dan pemikiran, dengan cara pandang/perspektif yang khas dari kita untuk 24 tahun ke depan di bidang yang kita mampu meski geraknya hanya selangkah.
Generasi ‘Praja’ merupakan akronim dari kata ‘Produktif, Rajin, Adaptabel, Jujur dan Aktif’. Bila lima kata ini disingkat akan menjadi PRAJA .
Secara harfiah, akronim tersebut merupakan kata sifat yang dimiliki orang yang berada di sebuah tempat, kota atau kerajaan. Orang–orang tersebut menomorsatukan produktivitas kerja, memiliki sifat yang rajin, mudah beradaptasi, jujur, dan aktif dalam menebar hal yang positif. Sangat sederhana, namun bisakah sikap mental ini membudaya di tengah-tengah kita hingga ke 24 tahun ke depan?
Lalu, bagaimana caranya agar Generasi PRAJA kita semai ke anak bangsa?
Cobalah menggabungkan konsep-konsep yang betebaran, yang tepat guna tentunya. Bukankah jiwa kreatif adalah pemulung sejati dari ilmu yang sudah ada, lalu didaur-ulang hingga membentuk bangunan mental yang kokoh? Nah, sekarang apa yang kita miliki wahai para pecinta Langkah Kaki Ki Hajar Dewantara? Banyak, simpel dan sederhana. Salah satunya adalah sikap mental yang Praja (Produktif, Rajin, Adaptabel, Jujur dan Aktif).
Produktif
Insan yang produktif adalah mau dan mampu melakukan perubahan untuk hidupnya dan hidup orang lain dalam lingkaran sempit atau lingkaran lebar. Fokus pada produktivitas yang bermanfaat hingga mampu mengorganisasi orang lain; paling tidak, memotivasi atau menularkan energinya secara langsung atau tidak langsung. Di depan, kita menjadi teladan. Di tengah-tengah, kita membangun karsa. Di belakang, kita menjadi motivator. Ajaran Ki Hajar Dewantara ini akan menghasilkan generasi dengan concept, competence, dan connection.
Rajin
Sejak mengenal bangku sekolah, gemaung kata rajin berseliweran di samping telinga kita. Ada yang membelok ke telinga kiri atau kena tikung angin bebal. Jangan sampai karakter angin bebal yang suka nonkrong di perempatan pikiran menjadi budaya masa depan anak bangsa. Ratusan kali peribahasa ‘Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya’ terpeleset di angan–angan saja. Ini tugas siapa? Atau malah kita salah satu komunitas yang tergelincir itu? Rajin secara luas adalah sikap hidup yang tidak menyia-nyiakan waktu. Bapak, Ibu, Adik, Saudara, saya juga ada di situ, akan meniti kata rajin dengan mempergunakan waktu yang ada.
Adaptabel
Makna kata adaptabel adalah mampu beradaptasi dengan baik. Generasi masa depan adalah generasi yang luar biasa dituntut kelenturan adaptabilitasnya. Contohnya, perubahan teknologi masa kini. Ya, Internet. Internet bisa menjadi guru yang baik sekaligus buruk bagi generasi bangsa. Maka, kemampuan beradaptasi menghadapi kencangnya perubahan zaman tidak membuat kita takut generasi masa depan ketinggalan zaman. Justru sebaliknya. Jangan sampai generasi praja kita menjadi zombie karena salah menyesuaikan pola pikir terhadap lajunya teknologi di 24 tahun ke depan.
Jujur
Kata jujur adalah harta bagi masa depan generasi bangsa. Jujur merupakan sikap hidup yang tegas dalam melaksanakan segala amanah. Apabila sifat jujur ada pada diri maka dia dapat dipercaya mengerjakan hal-hal penting. cuma, penanaman sikap ini tidak bisa serta merta. Sikap hidup ini harus berserak, ramai, di setiap lingkungan. Tugas mulia ini milik kita. Apa pun bentuk plagiasi karya, hingga perilaku tidak jujur lain, adalah hak kita untuk meluruskannya agar jati diri muncul alami.
Aktif
Aktif menyimak, aktif berbicara, aktif membaca, aktif menulis, adalah aktivitas dasar yang pantas dijadikan habit atau kebiasaan generasi bangsa. Masalahnya, adakah aktivitas itu lengkap di lingkungan kita?
Itu lah konsep sederhana PRAJA. Walau itu konsep usang, semoga tak lekang dimakan zaman.
……..
Selamat pagi, indonesia, seekor burung kecil
Memberi salam kepada si anak kecil;
Terasa benar: aku tak lain milikmu.
- Penulis adalah guru SMAN 4 Medan