Oleh: Agus SE
mepnews.id – Perubahan dunia secara sadar maupun tidak memberi dampak cukup drastis bagi kehidupan manusia secara personal maupun komunal. Banyak yang mampu bertahan maupun bangkit, namun tidak sedikit yang terpuruk bahkan hilang tergilas roda–roda zaman. Siapa yang punya strategi, antisipasi, inovasi, teknologi dan adaptasi yang massif, akan mampu survive.
Salah satu transformasi kehidupan yang paling terasa dengan keseharian kita adalah dunia digital. Digitalisasi hampir semua aspek kehidupan masayarakat menjadikan segalanya begitu dekat tanpa jarak dan nyaris tanpa jeda, begitu mudah nyaris tanpa beban, begitu familiar nyaris tanpa resah.
Semua berlomba mengambil garis terdepan dalam kemajuan, menyiapkan kemudahan dalam memberikan pelayanan publik. Pelayanan pemerintahan semakin terjangkau tanpa tahapan birokrasi ribet dan pungli. Cukup dengan sentuhan jemari, kebutuhan administrasi selesai.
Dunia bisnis berlomba beralih ke dunia digital, menawarkan kemudahan dan keamanan serta memberikan Excellent Service. Ini mendapat respons baik di hati komsumen. Digital Corporate maupun personal tumbuh di mana–mana, berlomba memudahkan konsumen dengan berbagai pilihan dan ragam fasilitas.
Kemajuan dunia membuat mata semakin terbuka lebar. Masyarakat wajib melek teknologi untuk eksis dalam dunia digital. Digitalisasi harus menjadi proses yang harus disambut untuk mengambil peluang demi memajukan ekonomi pribadi dan negara.
Pandemi COVID-19 semakin memberikan ruang bagi siapa pun untuk melek teknologi berbasis digital. Saat dianjurkan di rumah saja, namun kebutuhan pokok dan kebutuhan mendesak harus tersedia, maka kita makin paham perlunya dunia digital.
Dalam dunia pendidikan, pandemi memunculkan inovasi kemajuan yang baik. Bisa dikata, ilmu pengetahuan semakin tidak terbatas. Boleh dipelajari siapa saja, di mana saja, kapan saja, dan dengan tujuan apa saja. Semua bebas mengekpresikan diri dalam berbagi dan menggunakan ilmu di dunia digital.
Maka, muncul peluang dan kendala yang harus dipilih untuk meminimalisir efek negatif kemajuan teknologi dan digitalisasi. Pendidikan yang menuntut pemahaman dan pengetahuan secara teoritis dan materi sangat diuntungkan kondisi ini. Namun, pendidikan yang menuntut personal skill maupun mentality belum dapat secara maksimal diwadahi secara digital. Siswa belum optimal bisa menerima respon–respon verbal dan pembiasaan sikap yang dicontohkan secara gerak, gesture, komunikasi dan attitude serta nilai–nilai budaya lokal yang mencirikan Indonesia.
Pendidikan Indonesia harus terus maju mengikuti zaman, harus bangkit mengejar kesetaraan dengan negara maju, harus survive di tengah persaingan antar bangsa, harus terus menjadi yang terbaik di tengah pasang-surutnya keadaan negara di berbagai belahan dunia.
Seiring kemajuan teknologi, kita perlu juga mewujudkan visi terus melestarikan nilai–nilai budaya ciri khas Indonesia. Keanekaragaman budaya, adat istiadat dan tata krama yang telah mengakar dalam keseharian masyarakat harus menjadi bahan edukasi massal kepada seluruh stakeholder. Jangan sampai nilai–nilai tersebut terkikis oleh dunia digital. Jangan sampai hilang dari kehidpuan masayarakat. Bahkan, budaya Indonesia harus diupayakan hadir dalam digitalisasi dunia menjadi budaya digital yang mencirikan Indonesia.
Ambil contoh, batik sebagai salah satu aset budaya yang dekat dengan masyarakat. Batik juga menjadi obyek budaya yang digunakan sehari–hari dalam pakaian dan kebutuhan sandang lain. Batik juga sarana edukasi yang polpuler, bahkan masyarakat banyak punya kemampuan mengetahui motif–motif batik yang melegenda.
Selain itu, tata krama tetap harus menjadi bahan edukasi menyeluruh untuk memantapkan ciri ke-Indonesia-an kita sebagai bangsa yang ramah. Antara lain, perlu ada edukasi tentang budaya murah senyum, sopan, bersahabat, pekerja keras dan sejenisnya.
Di sisi lain, perlu ada evaluasi berkaitan dengan pendidikan di Indonesia. Data yang dilansir Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan, UNESCO menyebut Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Minat baca sangat rendah. Dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu yang rajin membaca!
Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Indonesia berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi infrastuktur mendukung membaca, peringkat Indonesia di atas beberapa negara Eropa.
Sementara, pada 2016 ada 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak untuk urusan kepemilikan gadget. Tak lama lagi, jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia bisa lebih dari 200 juta orang.
Ironisnya, meski minat baca buku rendah, data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia.
Coba bayangkan; ilmu minimalis, malas baca buku, tapi suka menatap layar gadget berjam-jam, ditambah paling cerewet di media sosial. Jangan heran jika Indonesia jadi sasaran empuk info provokatif, hoax, dan fitnah. Kecepatan jari untuk like dan share bahkan melebihi kecepatan otaknya. Padahal informasinya belum tentu benar, bahkan bisa saja provokasi dan memecah-belah NKRI.
Maka, membangkitkan semangat literasi menjadi tugas bersama untuk mencapai misi 100 Tahun Republik Indonesia. Kita harus menggiatkan budaya baca dan produktif dalam menggunakan media sosial dan alat telekomunikasi digital cerdas.
- Penulis adalah guru jurusan Perbankan dan Keuangan Mikro di SMK Utama Al Jabal Nur Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Fb: Agus samboja Phone: 085752024959