Diskusi Dakwah

Oleh: Moh. Husen

mepnews.id – Beginilah kalau orang terbiasa duduk berlama-lama di warung kopi. Dia jadi begitu sangat memuji warung kopi secara berlebihan:

“Ayo, cari tempat mana selain warung kopi yang membolehkan siapa saja duduk di sini. Orang gila boleh di sini. Di kampus, yang katanya tempatnya pakar intelektual itu, mana boleh orang gila dan gelandangan ikut nongkrong di sana? Pakar intelektual cap apa itu kok tidak pluralis? Sedangkan di sini, asalkan dia manusia, boleh ikut ngopi dan ngomong apa saja.”

Memang di warkop langganan si penikmat kopi hitam ini rupa-rupa ragam orangnya. Dari yang hobi main catur, rasan-rasan, politisi, hingga pengemis dan gelandangan pada mampir ngopi dan istirahat sebentar, kemudian pulang entah di mana tempat tinggal mereka masing-masing.

Terkadang temannya menggoda: “Ternyata tempat ibadah kalah dengan warkop ya? Buktinya kalau pengajian di tempat ibadah yang boleh hadir di sana hanyalah umat yang seagama. Yang datang biasanya juga orang yang sudah baik-baik. Di warkop, mau orang beda agama, preman-preman, bisa datang ke sini. Sepertinya warkop lebih efektif buat dakwah, hehehehe…”

Yang lain menimpali: “Pemerintah dan para mubaligh juga efektif kalau sering turba ngopi-ngopi di warkop. Jangan-jangan yang radikalis dan suka ngebom itu rikuh dan merasa najis kalau hadir di pengajian resmi. Tapi mereka tidak merasa najis kalau ke warkop. Begitu kan ya? Hehehehe…”

“Jadi kamu kira di warkop ini sarang teroris, tempatnya orang kotor-kotor, maling-maling, tukang mabuk yang perlu di-insyaf-kan. Sedangkan yang datang-datang ke pengajian itu orang yang sudah putih-putih dan bersih semua, gitu ya?” Si penikmat kopi hitam melempar pertanyaan juga, yang aslinya cuma menggoda juga.

“Bukan begitu bung,” satunya lagi menyahut, “Pengajian tidak salah, warung kopi tidak salah. Penghuni warkop dengan pengajian jelas beda bung. Dan dakwah boleh di mana-mana bung. Di warkop boleh, di kampus boleh, puncak gunung juga boleh bung…”

“Sebentar,” ada yang menyela, “kok jadi ada yang salah-salah hingga ada dakwah segala macam. Ini warung kopi. Ngomong yang kayak umumnya orang ngopi gitu lho. Nggak usah pakai dakwah-dakwah segala…”

Pembicaraan terus bersahutan sembari menikmati kopi dan camilan.

“Lho, situ apa alergi terhadap dakwah?”

“Ndak. Saya tidak alergi dengan dakwah. Tapi rasanya percuma kita ngomongin dakwah sekarang ini. Hanya orang kaya saja yang dakwahnya dipercaya orang. Kita sebagai orang kecil, ngapain ikut-ikut mbahas dakwah…”

“Dakwah itu sesuai kapasitas bos. Kalau mampunya mendakwahi diri sendiri dan satu orang atau lima orang teman, ya tidak perlu dakwah kepada yang ratusan dan ribuan. Kalau bayangan dakwahmu kepada banyak orang, jadinya wajar kalau kamu tidak pe-de dan berfikir yang dipercaya banyak orang adalah ceramahnya orang kaya…”

“Intinya dakwah itu penting. Sungguh pun hanya kepada diri sendiri dan keluarga atau orang-orang yang terjangkau saja. Tak perlu yang jauh-jauh jika tak terjangkau. Seperti saya ini, jangkauan kemampuan saya hanyalah sebatas warung kopi saja, hehehehe…”

“Kok malah diskusi dakwah, ini…?”

“Ya sudah. Sekarang kita pulang saja. Berarti tema ngopi tak sengaja kita kali ini adalah dakwah. Besok kalau ngopi lagi, pembicaraan kita akan lain lagi. Kemarin saja kita tak sengaja membicarakan masa lalu, bahwa yang paling lalu dari kita adalah ruh. So, mengalir saja, hehehehe…”

Mereka bubar. Seseorang yang dipanggil bos lantas bergegas mbayari ngopi beserta tetek bengek lain-lainnya.

(Banyuwangi, 8 Juni 2021)

Facebook Comments

Comments are closed.