Oleh: Ul Khusna
mepnews.id – Hari itu, dunia lagi indah-indahnya. Aku mengenakan pakaian seragam pramuka, lengkap dengan topi di kepala dan hasduk di leher. Ini seragam yang aku paling suka selama belajar di SMP Muhammadiyah 14 Paciran.
Entah mengapa warna coklat terang dengan jilbab cokelat gelap ini bikin adem mataku saat berkaca. Teman-temanku juga merasakan yang hampir sama. Maka, saat hari Minggu jam 14.00 tiba, kami riang gembira bersorak sorai dengan kakak pembina yang ramah dan kece-kece.
Kesempatan bertemu santri putra di arena Pramuka memang waktu yang tak terlupakan. Semua seperti saudara. Kakak pembina, yang tak lain guru di kelas, serasa beda saat bertemu di arena pembinaan.
Buku saku Pramuka selalu kubawa meski isinya catatan kecil kesan saat pelatihan.
Kami menelusuri sungai, sawah serta gunung, dengan mencari jejak. Sungguh, ini tantangan luar biasa. Kami sama-sama bingung mencari kata sandi, menemukan benda yang diminta kakak pembina, serta mendapat reward ketika usaha tim dihargai. Ada kerjasama, kesungguhan, kerja keras, sedih bareng dan tertawa bersama.
Cemilan yang biasa kami makan bersama adalah gulali. Ini, kalau di zaman sekarang, setara dengan permen lolipop. Tapi, gulali lebih alami berwarna coklat.
Ya, gulali dibuat dari tirisan air pucuk pohon aren. Proses pembuatannya lumayan susah. Petani aren memanjat hingga pucuk pohon untuk menyaring air yang keluar dari dalam pohon.
Untuk bisa mengambil air tirisan, ditaruhlah bambu yang sudah dipasang tali pengikat. Bambu itu diikatkan di pohon.
Untuk bisa mendapatkan kualitas gula aren yang bagus, airnya tentu tanpa campuran.
Setelah memenuhi bambu, air tirisan dibawa turun dan direbus sampai kental. Selama direbus, air itu terus diaduk-aduk.
Konon, menurut cerita ayahnya teman yang memiliki banyak pohon aren, kebiasaan makan gulali ini sudah turun temurun sejak nenek moyang. Dulu jajanan di desa tak sebanyak sekarang.
Gulali memiliki ciri khas manis dan harum baunya. Cara makannya juga simpel; cukup dikulum sampai habis.
Biasanya, gulali ditaruh di stik kayu. Cara naruhnya dengan diputar sampai membentuk gulungan di stiknya.
Tak bikin batuk malah bikin samangat. Saat lelah mulai melanda, saya sangat menikmati makan gulali.
Biasanya, yang jual ibu-ibu dengan membawa loyang penuh gulali. Harganya juga murah sekali.
Saat capek habis lari, loncat, atau jalan jauh saat Pramuka, mengulum gulali bikin menambah tenaga.
Pohon aren sangat banyak di pantai pesisir. Petani, yang juga nelayan, membikin gula aren dengan memanen buah yang biasa disebut ental (bahasa Jawa) atau siwalan. Filosofi dari pohon aren ini unik. Dipupuk dengan kasih sayang, dirawat dengan penuh pengorbanan dan dipetik dinikmati dengan rasa syukur.
Pohon Aren memiliki banyak kegunaan. Mulai dari akar, batang, buah sampai daunnya bisa dimanfaatkan manusia. Kini daun aren juga dipakai dekorasi berbagai event, padahal dulu hanya dipakai sebagai kayu bakar.
Gulali membikin kangen semuanya. Anganku langsung teringat satu-satu kakak pembina yang kini sudah dipanggil Allah.
Kakak pembina yang menanamkan nilai moral keagamaan, mencintai tanah air, dan selalu memberi contoh rasanya susah sebelum senang.
Saat kemah, air di gunung jauh jarak tempuhnya, kita menahan lapar dan rela antri ratusan anak dari berbagai sekolah. Kita tak boleh marah, jengkel atau putus asa. Semua dilalui bersama dengan penuh suka cita. Makan masak bersama seadanya dan tak boleh mengeluh.
Ternyata kini semua training saat Pramuka banyak sekali manfaatnya. Dari pembentukan karakter, sikap hidup dan menghargai kehidupan.
Oh, Gulali. Manismu tak terperi, bikin anganku melayang jauh di kala sepi.