Oleh: Yazid Mar’i
MEPNews.id – Perbedaan geografis dan topografis menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya bangsa. Masing-masing memiliki nilai-nilai etis yang beradab.
Tentu kondisi social culture ini lambat laun mampu menjadi penyuburan silang budaya (cross cultural fertilization) yang melahirkan kesadaran moral bangsa untuk melahirkan negara-bangsa (nations state) dengan Pancasila sebaga piagam kebangsaan yang menyatukan perbedaan.
Tetapi kurun terakhir, lebih-lebih menjelang pemilu sebagai pereode lima tahunan, sering kali terjadi perkembangan yang menggerus kesadaran akan pentingnya persatuan. Padahal, persatuan itu telah dibangun oleh para pahlawan pendahulu bangsa. Dengan cita-cita mereka, lahir suatu bangsa yang kuat dan jaya bernama Indonesia.
Meminjam pernyataan Jendral Purnawirawan Gatot Nurmantyo, isu yang digelindingkan para penghaus kekuasaan dengan membenturkan Pancasila dengan khilafah adalah pemikiran kuno. Itu hanya akan memperkeruh suasana terhadap sesuatu yang sebetulnya sudah selesai. Umat Islam sebagai mayoritas sudah dengan rela menghilangkan kata ‘menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ pada Piagam Jakarta.
Maka, meminjam kata Keindonesiaan dan Kebangsaan ala Nur Cholis Madjid dalam buku Indonesia Kita, adalah kesadaran intelektual akan harapan besar bahwa Indonesia ke depan adalah negara maju di tengah negara-negara di dunia.
Tentu, dalam perspektif keilmuan saya, ini adalah sesuatu yang menjadi cita-cita bersama seluruh masyarakat Indonesia, yang tak akan lapuk atau tergerus oleh pemilu sebagai pereodesasi lima tahunan, sebagai salah satu prasyarat demokrasi.
Reasarea Cileduk, 11042019