Selain itu pemilu hakekatnya juga sebagai sarana menilai pemimpinnya dan wakilnya yang telah dipilih untuk pereode sebelumnya. Artinya pilihan terhadap pemimpin dan wakilnya bersifat “terbatas dan tidak tetap” dari kurun waktu pereode lima tahun untuk Indonesia. Karena dalam kurun waktu pereode tersebut tentu terjadi perubahan pemilih, baik pada sisi kelompok usia serta kecerdasannya.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah rakyat ‘pemilih’ sudah benar-benar mencerminkan aspirasinya? Atau, sebaliknya, malah telah diintimidasi pilihannya? Intimidasi bisa berarti berbentuk pola pikir elit politik atau penguasa dan atau sejumlah rupiah dalam ‘isi tas’?
Jika betul yang terjadi rakyat telah terintimidasi, maka berarti rakyat telah menggadaikan kepentingannya untuk sesuatu yang sementara dan merelakan kepentingannya yang lebih esensi untuk satu pereode kepemimpinan.
Selain rakyat, lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu juga harus menjadi lembaga negara yang jujur, adil dan netral sehingga pemilu menjadi benar-benar sebagai sarana bagi pemenuhan hak-hak rakyat. Jika tidak, maka pemilu hanyalah akan menjadi ajang untuk menghabiskan anggaran negara dengan kedok pesta rakyat. Atau, menjadi sesuatu yang berbahaya, semacam benturan ideologi yang sengaja dibuat oleh beberapa elit.
Jika begitu, rakyat dan lembaga pemilu tidak lagi menjadi barometer kesuksesan, melainkan hanya menjadikan bangsa ini makin terpuruk.
Terminal Rajekwesi, 070419