Akal Sehat

Oleh: M. Yazid Mar’i
MEPNews.id – Menurut banyak ulama, manusia memiliki dua jenis akal. Pertama, akal insting. Kedua, akal tambahan. Akal insting merupakan akal dasar yang diberikan kepada semua manusia dan bersifat naluriah. Akal tambahan merupakan akal yang diperoleh dan berkembang atas dasar pengalaman dan keilmuan.
Maka, ketika berbicara tentang akal sehat, tentu dapatlah dimaknai sebagai akal yang bukan sekedar insting. Jika hanya dimaknai insting, maka kedudukan manusia sama dengan binatang dan tumbuhan. Sama-sama diberi insting oleh Tuhan. Yang sekedar mengatupkan daun ketika disentuh seperti bunga putri malu. Atau, yang sekadar menggulung badan seperti gonggo ketika disakiti. Jadi sifatnya insting reaktif dan melawan.
Dari sini, manusia memerlukan akal tambahan yang berkembang atas pengalaman dan ilmu pengetahuan. Dengan kedua unsur ini, manusia akan tidak sekedar reaktif yang cendrung melawan. Dengan pengalaman, manusia tetap menjadikan pengalaman sejarah, pengalaman diri, menjadi prasyarat dalam berucap dan berprilaku. Dengan ilmu, manusia akan mampu melihat, mendengar, merasa, menganalisa, mensintesis, Hingga yang keluar dari mulutnya dan yang nampak dari prilakunya adalah utuh, visioner, sebagai ciri khas manusia.
Maka, ketika kita menilik sejarah ke belakang tentang sebutan masyarakat jahiliyah, bukanlah mereka yang bodoh dalam tataran kemampuan menghasilkan sesuatu, melainkan ketidakmampuan menggunakan akal warasnya. Sebagai contoh; prilaku Umar Ibnu Khotab yang membuat patung dari roti, lalu disembahnya, tapi kemudian dimakannya ketika ia merasa lapar. Perilaku ini membuat beliau tertawa ketika sudah masuk Islam.
Artinya, jahiliyah bukanlah bodoh, tapi adalah mereka yang tidak mampu menggunakan akal sehat dalam memahami sesuatu.
Ibnul Qayyim Al Jauzai menyebut, jika akal insting bersatu dengan akal tambahan maka akan menjadi kekuatan. Dalam perspektif pikiran saya, ia telah menjadi separuh manusia.
Lalu bagaimana tingkat prosentase manusia yang tidak menggunakan akal warasnya? Tentu bisa dikatagorikan sebagai manusia kurang penuh ‘lokak’ atau manusia selevel tumbuhan dan binatang. Kendati akal sepenuhnya, tapi tidak 100 % dapat dijadikan hakim pemutus kebenaran.
Yazid Mar’i, 200319

Facebook Comments

Comments are closed.