Sirikit Syah, Manusia Banyak Sisi

Oleh: Yusron Aminulloh

mepnews.id – Banyak kawan menulis, memberi kesaksian, tentang daya juang dan progresivitas Mbak Ikit –begitu saya biasa memanggil Almarhumah Sirikit Syah. Banyak juga kawan yang menulis sisi intelektual dan kecendekiawanannya.

Saya ingin menulis hal sederhana yang membuat saya dekat hati dengan beliau. Memang saya adik ‘ideologis’ sesama mantan Surabaya Post era 90-an.  Di grup family Eks Surabaya Post, kami masih berdiskusi rutin dan memahami sikap politik dan sosialnya yang sejalan.

Hubungan sebagai adik tanpa terasa terjalin akrab. Kami sering saling mengirim buku bahkan makanan. Itu lah cara silatursahim ‘wong kota‘ yang sulit berjumpa karena kesibukan masing-masing.

Saya sempat beberapa kali datang ke rumahnya yang asri di Rungkut Surabaya. Tatkala kawan-kawan Eks Surabaya Post sambang kebun saya di DeDurian Park Wonosalam Jombang, beliau menyempatkan diri WA tidak bisa ikut karena barusan kemo dan masih lemes.

Dari sisi ini, Mbak Ikit adalah cermin tak terbatas bagi perempuan luar biasa di Indonesia. Tetap mengajar, tetap menulis buku tanpa lelah. Bahkan, meraih gelar doktor dalam kondisi menjalani kemo rutin karena kanker.

Suatu hari, beliau menulis buku Cancer and Me. Saya membeli cukup banyak buku ini untuk hadiah bagi tamu-tamu di kebun kami.

“Mbak, banyak yang meminta bedah buku Mbak Ikit,” begitu tulis pesan WA saya.

“Ayo, Dik, dirancang. Saya siap hadir,” jawabnya.

Ternyata, COVID-19 melanda. Acara itu gagal diselenggarakan.

Beberapa kali kami saling tukar buku. Suatu hari, saya tidak kirim buku tapi kirim makanan.

Beliau menulis:

“Assalamu alaikum wr wb. Dik, Alhamdulillah kirimannya langsung kami nikmati sekeluarga🙏. Barakallah rezekimu terus mengalir berlipat2. Amiiin🤲🤲. Kok banyak kirimannya? Kowe buka restaurant tah?”

Saya jawab: “Gak mbak, dukung teman yang usaha makanan,”

Beliau menjawab: “Alhamdulillah, itulah yang utama, dukung sesama teman dalam berusaha.”

Ada satu keinginan beliau yang saya belum bisa menjawab.

“Dik Yusron. Tolong beli rumahku. Saya mau pindah desa, sisa uang mau saya bagi anak-anak saya. Saya mau menikmati akhir hidup di tengah kebun. Menulis banyak buku.”

Ini menunjukkan, beliau sudah selesai dengan “urusan” dunia. Ingin kembali ke alam, ke desa, dan hidupnya diabadikan untuk ilmu. Berakrab dengan alam semesta.

Sayang, keinginan itu sedang diproses oleh waktu dan kondisi, tetapi Allah ternyata lebih dahulu menyiapkan rumah indah di Surga dengan tamannya.
Insya Allah. Amin.

Rumah abadi, balasan amal jariyahnya yang melimpah lewat tulisan, ilmu yang disebarkan, amalan yang ditanam selama di dunia.

 

  • Penulis adalah sahabat dan adik ideologis almarhumah.

Facebook Comments

Comments are closed.