Oleh: Dessie Ndanuna
mepnews.id – Orang-orang menyebutnya Watu Gedhek dan Watu Prau. Orang juga menyebut dua kawasan itu mengandung hawa-hawa mistis. Ada yang bisa merasakan, ada yang merasa biasa-biasa saja.
Watu Gedhek, begitulah masyarakat Dusun Krajan, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi, menyebut salah satu kawasan ini. Di sini, terdapat gunung batu yang terbentuk dari satu kesatuan bebatuan besar menyerupai anyaman bambu (gedhek dalam bahasa Jawa). Wisata ini bertempat di pangkuan LMDH mitra hutan lestari yang terletak di KRPH Kali Setail (Banyuwangi Barat).
Konon, Watu Gedhek itu ‘ikat pinggang’ bagi Gunung Raung. Yang jelas, posisi bebatuan tersebut seperti mengelilingi kaki Gunung Raung di Dusun Krajan. Warga sekitar mempercayai Watu Gedhek salah satu pondasi yang memperkuat Gunung Raung. Tak pelak, mereka pun mengeramatkan bebatuan tersebut. Banyak warga, khususnya yang beragama Hindu, melaksanakan sembahyang atau meditasi mendekatkan diri ke Maha Pencipta di kawasan Watu Gedhek. Banyak sesajen di sana, dan masyarakat sekitar merawatnya dengan baik.
Di dusun itu ada warga yang saya memanggil beliau ‘Bunda Syafa.’ Kebetulan, Bunda Syafa adalah wali murid di SD tempat saya mengabdi menjadi guru honorer waktu itu. Nah, Bunda Syifa juga cucu dari penemu pertama Watu Gedhek.
Bunda Syafa mengatakan, di tempat wisata Watu Gedhek ada sumber air yang besar bernama ‘Sumber Tangis’. “Neng kene iku enek sumber e loh, Mbak. Iku sebelahe gong, siseh lor (Di sini ada sumber air loh, Mbak. Itu di sebelahnya gong, sebelah utara),” kata Bunda Syifa sambil menunjuk tempat yang di maksud. “Sumber kui mau jenenge Sumber Tangis (Sumber itu namanya Sumber Tangis).”
Saya pun bertanya mengapa diberi nama Sumber Tangis. Penjelasannya butuh pendalaman tingkat tinggi. “Lek sing nunggu sumber kui gak nangis, gak bakal metu banyue, Mbak. Banyu sumber iku yo mili neng omah-e wong–wong iku loh. Mulai biyen, sak ben malem Jum’at Legi mbahku mrene nggawakne iwak ingkung sak jangkepe lumrahe berkat. Berkat karo ingkung kuwi mau diselehne neng cedak-e sumber sing ngisor gong gede iku. Terus muncul makhluk goib njelmo wong wedok prawan uayuuu karo nangis.”
Menurut Bunda Syifa, itu diberi nama Sumber Tangis karena sesuai dengan kebiasaan penunggunya. Kalau si penunggu tidak menangis, maka airnya tidak bakalan keluar. Air itu yang mengalir ke rumahnya orang-orang di kawasan sekitar. Maka, sejak dulu, kakeknya Bunda Syifa setiap malam Jumat Manis ke tempat itu membawa ingkung dan nasi berkat. Nasi berkat dan ingkung itu ditaruh di sebelah sumber di bawah gong besar. Setelah itu, muncul makhluk ghaib penunggu sumber berwujud perempuang perawan cantik sedang menangis.
Suami Bunda Syafa menceritakan, dari celah-celah Watu Gedhek terdengar suara gembrojok (gemiricik air) di sisi atas sebelah selatan. Sampai saat ini, suara tersebut masih terdengar. Dulu, tahun 1980-an, lokasi itu pernah dibuka oleh orang sakti (ampuh). Airnya terlihat jelas seperti air terjun yang sangat jernih. “Namun, tempat itu ditutup kembali dengan alasan tidak ada manfaatnya. Kalau pun dibuka, buat apa kalau tidak dirawat dengan baik,” begitu uangkapan orang sakti itu.
Juga diceritakan, dahulu sebelum Watu Gedhek dirawat seperti sekarang, ada ular yang sering muncul di sungai tepat di bawah Watu Gedhek. Masyarakat sekitar menyebutnya Ulo Sowo yang sebesar pohon kelapa dan panjangnya 15 meter. Konon, ular tersebut sering terlihat masyarakat yang mencari kayu bakar menjelang maghrib atau di siang hari saat adzan duhur (pukul 12.00).
Mendengar cerita-cerita tersebut, bulu kuduk saya seketika berdiri. Apa lagi hari itu saya bersama suami berkunjung ke Watu Gedhek dalam kondisi awan sudah semakin gelap tanda mau turun hujan. Begitulah kondisi di Jambewangi. Setiap habis duhur, hujan turun begitu deras menyirami bumi.
Oleh masyarakat sekitar, Watu Gedhek disebut sebagai wisata spiritual karena digunakan sebagai tempat ibadah terutama umat Hindu yang berkunjung ke sana. Meski demikian, jika kita ingin menikmati wisatanya, alamnya sangat mendukung. Perjalanan menjelang sampai di lokasi, kita bisa saksikan pemandangan hutan pinus di sisi kanan dan kiri jalan. Banyak bunga lipstik merah yang membuat pemadangan sekitar hutan pinus lebih menyejukkan mata.
Beranjak dari Watu Gedhek, kami menuju Watu Prau yang jaraknya sekitar 5 kilometer. Menuju Watu Prau, kami disuguhi perjalanan lewat bebatuan yang cukup mengocok perut. Namun, hal tersebut bisa diobati dengan pemandangan sekitar hutan yang menyejukkan mata. Ribuan pohon pinus tertata rapi diselingi bermacam–macam bunga nan cantik dipandang.
Watu Prau ini masih dalam pangkuan LMDH Mitra Hutan Lestari di KRPH Kali Setail (Banyuwangi Barat), tepatnya di Dusun Purworejo, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi. Maka dari itu Watu Gedhek dan Watu Prau merupakan Taman Wisata Terpadu karena berada di kawasan konservasi.
Watu Prau ini, menurut masyarakat sekitar, terbentuk pada zaman dahulu kala setelah terjadi banjir besar di sungai purba yang sekarang alirannya sangat kecil. Watu Prau berbentuk batu sangat besar dan kokoh namun hanya bertumpu pada tiga batu kecil di bawahnya sebagai penyangga. Batu tersebut terletak di bawah dua pohon besar yaitu pohon bendo dan pohon nyampuh yang usianya juga sangat tua. Bagaimana bisa sebuah batu sangat besar berdiri dengan angkuhnya ditopang hanya oleh tiga batu kecil dan tak goyah sedikitpun walau sering diterpa angin kencang hutan pinus yang sangat luas?
Sebagai wisata, tempat ini cocok untuk merasakan ketenangan dan melepas diri dari ramainya suasana kota. Di kawasan ini juga terdapat sungai yang airnya sengaja dibendung oleh pengelola dan diisi berbagai macam ikan hias. Kolam berisi ikan-ikan ini dapat menghilangkan rasa stres, menumbuhkan rasa semangat, serta membantu menenangkan pikiran. Hawa sejuk yang disuguhkan pegunungan serta banyak pohon pinus juga menunjukkan pesonanya. Angin yang berhembus serasa membawa embun menyegarkan diri kita.
Sebagai wisata spiritual, tempat ini juga untuk meditasi. Saya sempat berbincang dengan salah seorang pengelola tempat wisata. Thomas Darselo, yang berrambut gondrong dengan badan kurus dan tinggi semampai, menjelaskan tempat ini sering dikunjungi wisatawan spiritual saat malam hari. Mereka datang dari Bali, Blitar, Kediri, Malang dan daerah lain. Mereka sengaja berkunjung malam hari untuk melakukan meditasi. Orang–orang ini umumnya pernah bermeditasi di Alas Purwo yang terletak di ujung selatan Kabupaten Banyuwangi.
Watu Prau menyandang artian yang berbeda–beda menurut sudut pandang masing–masing orang. Banyak yang mengatakan batu yang bagaikan perahu terbalik itu terbentuk akibat seleksi alam di jaman dahulu. Ada yang menyebut batu di tengah hutan itu dikeramatkan karena peninggalan sejarah. Para spiritualis juga memiliki sudut pandang sendiri dalam memaknai Watu Prau tersebut. Adanya pohon Bendo dan pohon Nyampuh yang berusia ratusan tahun itu dikaitkan dengan hal-hal ampuh (bertuah) sehingga Watu Prau melambangkan ketenangan hidup.
Kalau menurut Thomas Darselo sendiri, “Watu Prau itu bisa dipandang dari keunikannya yakni mampu berdiri kokoh walau hanya menumpang pada kekuatan tiga batu kecil. Ini menggambarkan keseimbangan dalam kekuatan hidup seseorang.”
Sebagai seniman rock balancing, Thomas Darselo menyebut, “Watu Prau itu mencerminkan keseimbangan duniawi dan spiritual yang sangat berhubungan satu sama lain.”
Di tempat ini, Thomas Darselo juga mengembangkan seni menumpuk batu dengan menerapkan teknik keseimbangan. Mengasah rasa seni rock balancing tentu membentuk kebiasaan atau habit yang memerlukan ketenangan, keyakinan, dan konsentrasi.
Namun seni itu sering dihubungkan dengan hal–hal berbau mistis oleh masyarakat awam. Itu karena banyak masyarakat berfikir batu yang berbeda–beda bentuknya tapi bisa tetumpuk rapi tentu tidak dapat dikerjakan oleh manusia biasa. Pekerjaan itu hanya mampu dilakukan oleh orang sakti (punya perewangan).
Pemikiran masyarakat tersebut diperkuat dengan adanya bau–bau dupa yang sangat kental di Watu Prau. Memang banyak sesajen di bawah pohon bendo dan pohon nyampuh atau di sisi kanan dan kiri Watu Prau itu sendiri.
Dulu, pernah ada warga sedang mencari kayu di dekat Watu Prau. Ia lalu melihat sosok yang besar dan berbulu hitam lebat berada di antara pohon nyampuh dan Watu Prau. Merasa sedang diamati sosok luar biasa, seketika ia lari meninggalkan tumpukan kayu yang sudah ditata rapi. Setelah kejadian itu, banyak warga mengatakan Watu Prau itu tempat yang angker.
Para spiritualis menyakini, Resi Makandria pernah datang untuk bermeditasi di Watu Prau. Resi dari Bali ini bertujuan menyebarkan agama Hindu ke daerah tersebut. Cerita itu juga semakin menambah kesan mistis wisata Watu Prau. Orang–orang terdahulu meyakini, seorang resi pasti memiliki ilmu spiritual yang bertujuan medekatkan diri pada Sang Pencipta.
Demikian sepenggal cerita tentang Wisata Watu Gedhek dan Watu Prau yang dipercaya memberikan kesan mistis bagi sebagian pengunjung yang pernah menapakkan kaki di sana. Kedua tempat tersebut memberi saksi bahwa masih ada hal–hal mistis yang mungkin dapat kita jadikan sebagai pengetahuan dan tidak harus kita percaya.
Semuanya kembali kepada individu masing–masing untuk percaya atau tidak akan cerita–cerita tersebut. Namun, kita harus mempercayai bahwa ada sisi lain dari dunia kita (ghaib) yang diciptakan oleh Sang Pencipta untuk saling berdampingan dengan kehidupan nyata.
Keseimbangan dan ketenangan hidup adalah kunci kebahagiaan bagi semua makhluk. Maka jangan pernah mengusik antara satu dan lainnya.
- Penulis adalah guru di SDN 2 Sukonatar, Banyuwangi.