mepnews.id – Luka yang timbul akibat kejahatan seksual adalah bentuk stres besar dalam hidup. Kondisi traumatis ini tidak dapat diremehkan. Maka, korban harus mendapatkan bantuan dari berbagai lini.
Margaretha Rehulina SPsi GDipPsych MSc, dosen Fakultas Psikologi (FPSi) Universitas Airlangga, berpendapat korban harus segera mendapatkan bantuan konseling oleh profesional. Bisa melalui psikolog atau psikiater jika dibutuhkan. Tujuannya membuat korban menjadi kuat dan bisa melanjutkan hidupnya kembali.
“Keluarga atau lingkungan masyarakat sangat penting untuk membantu korban. Misalnya, bantuan mengakses layanan konseling agar korban dapat melanjutkan hidupnya kembali,” katanya.
Ia menungkap sisi miris dari kesehatan mental korban kejahatan seksual. Faktanya, orang terdekat pun kadang tidak percaya pada cerita korban.
“Jika korban masih terlalu kecil, dianggap ‘ah anak-anak membuat fantasi mungkin’. Kalau korban sudah besar, mungkin dianggap berbohong. Nah, ini yang justru menumpulkan keinginan korban untuk mencari bantuan. Akhirnya si korban tambah terpuruk dengan luka kejahatan seksual,” ucap Retha.
Maka, percayai apa yang diceritakan korban. Berikutnya, berikan kesempatan bagi korban untuk mengekspresikan emosi. Perlu dipahami, tutur Retha, “Berbagai emosi dapat muncul secara alamiah ketika tubuh kita dijarah seseorang. Bisa merasa marah, sedih, menangis, malu. Bisa juga diam. Itu bisa terjadi pada orang dewasa, anak kecil, maupun pada laki-laki. Nah jangan dipaksa untuk dikendalikan emosinya. Saya pernah lihat ada orang menangis dibilang ‘jangan menangis, kamu harus kuat.’ Atau ‘sudah. Bangkit, jangan ingat masa lalu’,” terangnya.
Kondisi emosi itu berbeda pada setiap orang. Ada beberapa orang yang butuh waktu lebih lama untuk memproses emosinya. Untuk itu, setidaknya orang terdekat bisa membantu dengan mendengarkan atau memberikan akses kepada konseling profesional. “Kita perlu menyediakan kesempatan bagi korban untuk mengekspresikan, memahami, dan mengelola emosinya hingga suatu saat dia yang mengendalikan sendiri,” tekan Retha.
Di samping itu, keluarga juga perlu memberikan dukungan terbaik dengan tidak terus-menerus mengulang cerita tentang luka dan trauma korban. Yang sering terjadi di Indonesia, ujarnya, orang-orang terlalu banyak menggali informasi yang tidak dibutuhkan.
“Jadi, kalau memang membantu korban, janganlah bergunjing, tidak perlu mengetahui detail. Tidak perlu semua orang tahu informasi ini. Justru keluarga harus menjaga kerahasiaan. Tidak perlu informasi ini dibongkar untuk semua orang tanpa tujuan,” katanya.
Lebih baik berikan dukungan, misalnya dengan memfasilitasi minat dan potensi korban untuk melanjutkan hidupnya.(*)