Oleh: Siti Nur Fatinatin
mepnewa.is – Akibat pandemi COVID-19 di Indonesia, interkasi fisik secara langsung masyarakat dihentikan dan dialihkan menjadi aktivitas daring. Walau cukup efektif mengendalikan virus, kondisi ini tidak mudah bagi lembaga pendidikan. Meski menjadi alternatif, proses pembelajaran jarak jauh secara daring juga membawa masalah.
Berbagai kebijakan telah dikeluarkan pemerintah. Dari pengaturan zona boleh-tidaknya sekolah dibuka dengan aturan protokol kesehatan ketat, membudayakan pola hidup bersih dan sehat, dan lain-lain dalam rangka pencegahan dan pengendalian COVID-19.
Meskipun sudah diberi pedoman pembelajaran di masa COVID-19, beberapa daerah memilih pembelajaran daring untuk mencegah penyebaran virus. Dalam pelaksanaannya, banyak persoalan terjadi dalam pembelajaran daring.
Pertama, tidak semua wilayah bisa mengakses internet dengan mudah dan lancar. Kuota yang dimiliki siswa juga sangat minimalis. Siswa di perkotaan yang mudah akses pun tak semua punya biaya untuk beli kuota internet.
Kedua, media yang digunakan para guru cenderung monoton sehinggs membuat para siswa jenuh dan bosan, Sangat mungki, siswa tidak lagi mengerjakan tugas tapi hanya bermain game di hp. Atau, tugas siswa dikerjakan oramg tua.
Ketiga, karakter siswa tidak bisa lagi dipantau guru. Bahkan, ada siswa yang tidak mengenal gurunya karena memang tak pernah berjumpa secara langsung. Siswa lebih banyak berguru pada Mbah Google. Yang lebih parah, sebagaian kecil siswa memlih menikah daripada belajar.
Keempat, penyerapan materi yang diberikan guru pada siswa sangat minim.
Yang menjadi pertanyaan besar hari ini, apakah sekolah sebagai lembaga masih sesuai dengan fungsi dan tujuan kurikulum dengan pembelajaran daring? Pada kenyataannya, pembelajaran jarak jauh masih dianggap sebagai proses bersekolah meski dengan berbagai kekurangan dari pihak guru, siswa atau orang tua.
Di masa pandemi, guru sulit berkomunikasi dengan siswa. Hal ini terkait keterbatasan model pembelajaran daring yang tidak lagi pada ruang kelas melainkan sekolah berpindah di masyarakat atau di rumah. Orang tua atau keluarga justru menjadi guru sekolah di rumah. Masalahnya, banyak orang tua kesulitan dalam memahami pelajaran dan susah memotivasi anak saat mendampingi belajar di rumah.
Begitu juga dengan pencapaian kurikulum. Guru mengalami kesulitan mengelola pembelajaran daring dan cenderung fokus pada penuntasan kurikulum. Waktu pembelajaran berkurang sehingga guru tidak mungkin memenuhi beban jam mengajar.
Fungsi sekolah di masa pandemi COVID-19 bisa menjadi refleksi. Sekolah sebagai lembaga seharusnya merupakan tempat yang mudah diakses, mudah diperoleh sumber pengetahunnya, tidak terikat pada profesi dan bisa menerima masukan secara terbuka.
Sejatinya fungsi sekolah adalah menciptakan tujuan pendidikan memanusiakan manusia. Tidak untuk membatasi waktu, tempat, bentuk, dan aturan siswa dalam belajar. Hal ini bisa menjadi bahan kajian dalam merumuskan fungsi sekolah setelah masa pandemi. Fungsi sekolah seharusnya berjalan sesuai tujuan pendidikan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penulis adalah guru di MTs As Syafiiyah, Jatirogo, Tuban.