MEPNews.id – Pengolahan limbah domestik di Indonesia belum terlalu diperhatikan. Maka, mahasiswa Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) merancang instalasi pengolahan limbah air (IPAL) domestik tanpa emisi (zero emission). IPAL yang diusung tim Grisse ini juga difungsikan sebagai media pemberdayaan masyarakat di RT 19/RW 02, Kroman, Gresik.
Ketua tim Grisse, Mas Den Rum, menjelaskan IPAL yang dirancang timnya mampu mengolah limbah domestik jenis grey water maupun black water. Grey water adalah air limbah dari kegiatan rumah tangga non-kakus seperti memasak atau mencuci. Sedangkan black water adalah air limbah dari kegiatan kakus. “Biasanya black water ditampung di septic tank, sedangkan grey water langsung dibuang ke badan air,” terangnya.
Menurut Deni, sapaan akrabnya, perlakuan terhadap limbah ini seringkali menimbulkan masalah. Ia memberi contoh, seringkali terjadi kebocoran septic tank pada pengolahan black water. Akibatnya, air tanah sering tercemari rembesan septic tank. “Selain itu, septic tank juga menimbulkan pencemaran udara akibat gas metana yang dihasilkan,” tambahnya.
Pengolahan limbah pada IPAL tanpa emisi ini melibatkan beberapa tahap. Pertama, menampung limbah. Tujuannya mencampur black water dan grey water serta menstabilkan debit limbah ke tahap selanjutnya. “Kemudian pengolahan dilanjutkan ke unit Integrated Anaerobic-Aerobic Sequencing Batch Reactor (IAASBR),” paparnya.
Sesuai namanya, pada unit ini terdapat mekanisme aerobik dan anaerobik. Menurut Deni, pengolahan limbah dengan dua mekanisme ini lebih efektif. Jika diolah dengan mekanisme anaerobik saja, hasil pengolahan belum memenuhi baku mutu untuk dibuang ke badan air. “Jika mekanisme aerobik saja, kurang efektif di biaya,” tutur mahasiswi angkatan 2017 ini.
Setelah keluar dari unit ini, air sudah memenuhi baku mutu air limbah untuk dibuang ke badan air. Namun, alih-alih melakukan hal tersebut. Deni bersama tim
memutuskan memanfaatkan air limbah yang dihasilkan. “Kami memanfaatkan kembali semua emisi yang dihasilkan unit pengolahan limbah,” imbuhnya.
Emisi tersebut berupa air pengolahan limbah, lumpur, dan gas metan. Tim melakukan disinfektasi pada air hasil pengolahan limbah untuk membunuh bakteri berbahaya. “Kemudian air ini kami tampung untuk menyiram tanaman dan mencuci kendaraan warga,” sebut mahasiswi berkacamata ini.
Emisi selanjutnya adalah lumpur. Unit pengolahan biologis seperti yang diusulkan umumnya menghasilkan lumpur sebagai hasil degradasi polutan. Maka, timnya memanfaatkan lumpur tersebut untuk pembuatan kompos. Bersama tim, Deni merancang drum-drum pengolahan kompos yang mudah dioperasikan. “Kami juga menambahkan daun-daun kering pada pembuatan kompos secara aerobik di drum tersebut,” ujarnya.
Emisi terakhir yang dimanfaatkan adalah gas metan. Gas ini juga dihasilkan dari unit IAASBR. Ketika sudah memenuhi standar pembuatan biogas, maka gas metan ini ditangkap dan ditampung. “Selanjutnya kami memberdayakan masyarakat untuk mendistribusikan biogas dengan sistem arisan,” jelasnya.
Yang menarik, Deni dan tim tidak hanya merancang IPAL, namun juga ingin rancangan ini lebih bisa diimplementasikan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangan ini dilakukan dengan mengambil studi kasus di RT 19/RW 02 Kroman, Gresik. “Selain karena kami berasal dari Gresik, lokasi ini cocok sebab berada di tengah kota, padat penduduk, serta dekat dengan pesisir,” ungkapnya.
Tidak sia-sia. Rancangan yang diusung bersama Ahmad Nailul Firdaus, Akhmad Zadhni Nashruddin, Diah Ayu Sentani, serta Ririn Triyanita ini mampu meraih penghargaan Favorite Landscape kategori Limbah Domestik dalam ajang Lomba Desain IPAL 2020 yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada Agustus lalu. (fat/HUMAS ITS)